Senggama Gelandangan

Jumat, 26 Februari 2010

Kompas)
Tuhan, tolong tulis nasib mereka dengan huruf yang lebih baik (Photo: Kompas)
Seorang bocah dengan lincah loncat ke angkot yang juga kunaiki, baru saja. Dari mulut mungilnya mengalun lagu:“…Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi”.
Sedang dia yang duduk persis di sisi kiriku, kutahu melihatku lekat, seakan sedang membaca isi pikiranku.
Memang, saat itu sedang berkecamuk berbagai tanya di kepala.
“Kemana orangtuanya? Oh, shit!!!” Terpikir orangtua yang membiarkan anak-anaknya harus meninggalkan masa kecilnya terlalu pagi.

Seakan mengerti pergolakan yang sedang ada di balik tempurung kepalaku. Dia yang nyaris saban hari melihat pemandangan ini, berujar:“orangtuanya ada di sana tadi, di tempat kita menaiki angkot.”


“Yang merokok tadi?”
“Iya ibu yang tadi sedang merokok.” Dengan geram mata pikiranku melihat ulang sosok ibu yang lebih ’sejahtera’ dengan bentuk tubuh yang lebih tambun.
“Jadi mereka melahirkan anak…”
“Mereka melahirkan anak untuk dipekerjakan sebagai pengamen. Mengais rejeki dengan caranya, nanti sore disetorkan pada orangtuanya.” Jawabnya lugas menukas tanyaku. Aku sendiri hanya termangu.
Tak lama, bocah yang berusia sekitar 7 tahun itu meloncat turun sebelum angkot yang kutumpangi itu berhenti. Aku tercekat. Terbayang jika saja ada pengendara motor nekad yang sering show off di jalan-jalan, yang bisa saja masuk dari kiri menyambar tubuh mungil itu. Ah, aku hanya bisa menggumam. Sebelumnya, tangan kecil itu sempat disodorkan tetapi belum sempat tanganku merogoh saku celana, ia sudah melompat turun. Entah aku yang terlalu mendramatisir, setitik buliran airmata jatuh. Lekas kuhapus untuk tidak dilihat penumpang lainnya.
***
Waktu tidak mengenal jalan santai. Nasib tidak selalu bersedia membaca cerita cinta. Seperti enggan mengeja cerita Cinderella. Waktu berjalan cepat dengan semua realitanya. Selanjutnya, aku kembali terpaku saat sedang melewati sebuah terowongan pendek. Seorang lelaki yang kuyakin masih sangat muda, meringkuk. Menutup seluruh tubuhnya dengan sarung yang membuatku merasa buta warna. Ransel lusuh tercampak persis di sisi badannya. Aku hanya bisa menatap lekat. Lagi, pikiran mengajak untuk menyapa Tuhan, mempertanyakan semua lukisan itu.
Namun, sebelum tanya dan jawab itu terdengar terang. Aku kembali harus melihat seorang lelaki tua, terduduk sendiri membaca lembar koran yang terlihat sudah lecek. Di samping tubuh tuanya, terdapat meja kecil. Lelaki tua itu menjual kemampuannya membuat stempel. Ada rasa kagum dengan semangatnya mencari nafkah. Selain rasa marahku entah pada siapa, kenapa lelaki setua itu masih harus memaksa diri memakan asap kotor kota ini untuk mencari nafkah. Saat dalam usia yang kutaksir sekitar 75 tahun, harusnya sudah berada di rumah utuk berada di rumah saja untuk berzikir dan memperbanyak ibadah.
Beberapa langkah kaki ke depan, bersama dia yang masih menggamit tanganku mesra. Aku masih harus
Google)
Jika masih ada beberapa lembar rupiah di tangan itu, apakah bisa diganti dengan nasib yang lebih indah dari keriput kulitnya, Tuhan? (Gbr: Google)
melihat lagi seorang nenek berusia berkisar 65 tahun. Terduduk dengan mata kosong. Oh, kembali ada jeritan dari dalam jiwaku,“seperti ini nasib berbicara…”
Teringat masih ada beberapa lembar ribuan di saku. Segera kuberikan pada nenek ini. Matanya terlihat lebih berbinar. Andai saja binar mata itu abadi, dan tubuh tua itu tidak harus terduduk lemah di lantai depan pertokoan yang lembab dan kotor itu…
Tapi (lagi) nasib masih sering angkuh menulis diri.

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: