Ayah Bertemu Anak Setelah Mencari 33 Tahun

Jumat, 26 Februari 2010

Kompas)
Franciso bertemu ayahnya, Abel Madiagara. (Sumber: Kompas)
Kemarin pagi karena repot dan harus mengerjakan banyak hal, saya tak sempat baca Harian Kompas. Barusan saya klik harian ini dan saya langsung ke bagian humaniora, salah satu bagian yang saya sukai. Langsung saya lihat gambar dua orang lelaki, yang satu lebih tua dari yang satunya lagi; ayah dan anak: Abel Madariaga dan Francisco Madariaga Quintela.

Saya langsung membaca tulisan berjudul: Francisco Bertemu Ayah di sini Judul ini sekilas nampak sederhana tetapi saya lalu sadar, kata bertemu adalah sebuah kata yang sangat kuat yang kita biasa pakai sehari-hari. Bagi orang yang dekat dengan ayah mereka, saya kira tak akan melewatkan sebuah tulisan macam ini.
“Toch, baca Kompas hari ini dan lihat di situ ada kisah tentang seorang bapak yang baru menemukan anaknya”, saya bilang barusan sama adek saya. “Ini, lihatlah dulu ini”, saya katakan sama adek saya yang lalu datang mendekat melihat layar komputer di depan saya.
“Oooh, itu kemarin. Saya sudah baca.”
(Saya dan adek saya berbicara satu sama lain mempergunakan bahasa Simalungun; ibu kami orang Simalungun, bapak kami Toba — jadi kami ‘hibrid’?)
Lalu saya dan adek saya membicarakan tulisan berjudul Francisco Bertemu Ayah.  Saya mendengarkan adek saya bercerita tentang tulisan yang sudah dia baca ini. “Ibunya seorang dokter bedah yang bekerja untuk orang-orang miskin”, begitu antara lain kata adek saya.
“Menyedihkan betul ya. Bagaimanalah perasaan bapaknya itu selama ini ya?” Saya bertanya pada adek saya yang sebenarnya pun tak memiliki jawaban untuk pertanyaan saya. Dia hanya bilang, “Itulah, lihatlah, itu bapaknya itu”, kata adek saya sambil menunjukkan gambar yang sebenarnya ada di depan saya sendiri.
Hidup kadang menampilkan dirinya dengan paradoks yang sangat dalam. Kelompok militer yang menghancurkan kehidupan banyak warga di Brazil seperti keluarga Madariaga. Silvia Monica Quintela sedang mengandung bayi pertamanya ketika tentara menculik lalu memenjarakannya tahun 1977. Sejak saat itu, Abel Madariaga tak pernah lagi berjumpa dengan istrinya. Francisco tak pernah melihat ibunya sebab sehari setelah dia lahir, keluarga Victor Alejandro Gallo mengadopsinya.
Gallo ketika itu seorang perwira intelijen, sebuah kedudukan penting. Orang ini telah menyelamatkan Francisco bagi setidaknya Abel Madiagara; menyelamatkan seorang bayi untuk seorang ayah yang telah kehilangan istri dan anaknya yang masih berusia empat bulan dalam kandungan pada tahun 1977 itu, walau Abel Madiagara harus menunggu selama hampir 33 tahun.
33 tahun menunggu Pak Abel Madiagara? Waktu yang sangat panjang Bapak!
Kadang, manusia bisa sangat kejam terhadap sesamanya. Kisah-kisah menyedihkan banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita di dunia ini, bahkan yang lebih kejam dari pengalaman Pak Abel Madiagara dan keluarganya.
Pasti ada yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kekejaman yang kadang merupakan kekejaman massal yang bisa muncul dalam berbagai bentuk kan? Kita, siapa dan di mana saja, secara langsung dan tidak langsung bisa terlibat dalam sebuah atau lebih modus kekejaman.
Saya ingat sebuah isi poster para demonstran yang memprotes pembunuhan seorang wartawan, kalau tak salah di Turki, beberapa tahun yang lalu, yang berbunyi: “Don’t Be Silent or You Will Be Next!”
Mendiamkan ketidakadilan atau kekejaman yang berlangsung di sekitar kita mungkin jauh lebih mudah daripada membicarakan apalagi menolaknya tetapi harga diam itu sangat mahal sebab itu berarti kita sedang membiarkan virus ketidakadilan dan kekejaman menjalar. ***

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: