Seorang Nabi berkata kepada seorang  pemuda, “Sepeninggalku nanti, akan tiba suatu masa dimana semua sumur  mengering, lalu muncullah sebuah mata air di tengah kota. Tetapi barang  siapa yang meminumnya airnya akan menjadi gila.
Tak lama kemudian Nabi itu pun  meninggal. Musim kering pun mulai terlihat tanda-tandanya. Mengingat  nasehat sang Nabi, si murid membeli  sebuah gentong besar dan mengisinya  dengan air.
Musim kering yang diramalkan itu tiba.  Semua sumur di kota menjadi kering dan mengakibatkan kesengsaraan warga  kota. Tetapi, berapa hari  kemudian muncul sebuah mata air di tengah  kota. Penduduk berbondong-bondong mengambil air dari mata air tersebut  untuk minum.
Setia pada nasehat Nabi, si pemuda tidak  mau minum dari mata air baru itu. Ia berhemat air dan minum hanya dari  gentong  yang disimpannya.
Pada suatu hari ia keluar untuk  berbelanja di pasar. Di jalan orang-orang memandangnya dengan tatapan  aneh.
“Gila. Pemuda itu gila” Orang-orang  menyebutnya begitu.
“Kalianlah yang gila. Sebab kalian telah  minum dari sumur itu.” Sahut si pemuda.
Berhari-hari, pemuda itu terus minum  dari gentong simpanannya. Dan orang-orang terus menganggapnya gila.  Lama-lama air simpanannya habis.
Kehausan, dengan terpaksa ia pun menuju  mata air di tengah kota dan meminum airnya. Dalam perjalanan pulang,  orang-orang melihatnya dengan mata berbinar dan berbisik, “Pemuda itu  sudah sembuh dari kegilaannya.”
Di atas adalah sebuah kisah sufi. Saya  tuturkan kembali, maaf kalau ada selip bahasa atau selip detil cerita.  Hikmah dari cerita di atas kurang lebih adalah, bahwa kegilaan adalah relatif,  dan kewarasan adalah kolektif. Yang gak ikut ombya’ing  zaman = aneh, gila. Atau ga gaul.
Khususnya di masyarakat kita, entah  kenapa ironi dari cerita sufi di atas sangat klop. Padahal cerita itu  boleh jadi dikarang di Persia sana, bermil-mil dari sini, nyebrang  laut pula.
Orang kita sering risi bila ga gaul.  Memuja trend, mencintai apa yang menjadi kecenderungan orang  banyak.
Ini berlaku pula untuk wabah  jejaring sosial macam fesbuk. Sekarang ini, internet dianggap simbol  kemajuan. Dan kalau anda berinternet dan tidak memiliki akun jejaring  sosial, akan terasa aneh. Tidak heran kalau anak-anak es-de pun  berbondong-bondong bikin akun di fesbuk. Sebab mereka pun sudah risih  kalau dikatain ketinggalan zaman.
“Bu, akun Ibu apa? Nanti saya add  dech”, tutur seorang murid kelas satu di sebuah sekolah pada ibu  gurunya. Bu Guru cuma geleng-geleng dalam hati.
Frenster, fesbuk, twiter dan  sederet jejaring sosial lain memang menarik. Situs seperti itu telah  berevolusi bertahun-tahun untuk menyajikan sensasi-sensasi sosial dan  personal yang paling kita inginkan. Karena memang jualannya itu.
Tak dapat ditampik manfaatnya pula,  selain sensasi-sensasinya itu. Bahwa ia menipiskan jarak psikologis  antara orang dan orang. Silaturahmi. Bahwa ia merekatkan  kenangan-kenangan masa lalu dengan canda-cerita hari ini.
Yang tadinya terbentang dinding yang  tinggi, malah bisa saling menulis di wall. Yang tadinya  dibatasi jurang yang lebar, sekarang dibatasi pulsa saja.
Di situ pula kelemahannya. Karena tidak  selamanya jarak psikologis yang sirna itu dikehendaki, dan tak selamanya  kenangan-kenangan yang ada perlu digali-gali lagi. Dan dinding dan  jurang psikologis itu, terkadang melayani suatu fungsi, yang kita sadari  maupun tidak kita sadari. Sehingga jejaring sosial adalah semacam  laboratorium besar, dimana anggotanya adalah kelinci percobaan untuk  suatu iklim sosial yang sama sekali baru. Tidak berlebihan orang  menyebut friendster adalah revolusi, fesbuk adalah revolusi.
Revolusi, memang sering minta banyak  biaya. Biaya yang pertama adalah terkaget-kaget, mabok.
Di sekolah tempat anak kecil menawarkan add  pada bu Guru itu, akhirnya dipasang juga internet. Hari pertama, staf  tata usaha yang muda dan bersemangat mengajari guru-guru setengah baya  fesbuk. Hasilnya, hari itu murid kocar-kacir. Guru-guru sibuk mengagumi  fenomena baru itu dan terbang ke masa lalunya mencari  kenangan-kenangannya yang pernah hilang.
Dasar gila. Yang namanya gila  ternyata bukan benda objektif yang bisa dijauhi dengan kecepatan atau  percepatan yang pasti. Kegilaan punya banyak wajah dan mencegat  dimana-mana.
Termasuk fesbuker, kalau tidak hati-hati  mengelola keheranan dan keinginannya, bisa dengan mudah kecanduan.  Syukurlah kalau kecanduannya bisa dikelola, sehingga satu saat sadar  untuk kembali memperlakukan modernitas tersebut secara proporsional.
Dari koran-koran, kelihatannya sudah  banyak korban. Kasus yang melibatkan fesbuk muncul dimana-mana. Para apologis  fesbuk memang bisa berkilah. Bahwa penculikan, prostitusi,  perselingkuhan bisa dengan dan tanpa fesbuk. Tetapi apa bisa ditampik,  bahwa fesbuk dan jejaring sosial, membuka peluang baru yang lebar untuk  terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut.
Remaja memang labil. Dalam kelabilannya,  sangat mungkin fesbuk membuatnya lost in forest, lalu diculik  atau menculik. Seperti yang terdengar di koran-koran. Demikian pula  rumah tangga, memiliki saat-saat labil. Berapakah yang lari ke fesbuk  dan menemukan pelampiasan atau curhatan yang lebih melegakan ketimbang  pasangannya. Biarlah Tuhan yang Maha Tahu.
Akhirnya, kita tahu, ada orang yang  dianggap atau merasa gila karena tidak ikut fesbuk. Ada pula yang  tergila-gila dengan fesbuk, dan ada juga yang melakukan perbuatan gila  dengan memanfaatkan fesbuk. Semuanya, gila gara-gara fesbuk.  (PCL)
Sumber:

 
 




 
0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini:
Posting Komentar