Gila Gara-gara Fesbuk

Kamis, 25 Februari 2010

ilustrasi dimodifikasi dari www.stolaf.edu
ilustrasi dimodifikasi dari www.stolaf.edu
Seorang Nabi berkata kepada seorang pemuda, “Sepeninggalku nanti, akan tiba suatu masa dimana semua sumur mengering, lalu muncullah sebuah mata air di tengah kota. Tetapi barang siapa yang meminumnya airnya akan menjadi gila.

Tak lama kemudian Nabi itu pun meninggal. Musim kering pun mulai terlihat tanda-tandanya. Mengingat nasehat sang Nabi, si murid membeli  sebuah gentong besar dan mengisinya dengan air.
Musim kering yang diramalkan itu tiba. Semua sumur di kota menjadi kering dan mengakibatkan kesengsaraan warga kota. Tetapi, berapa hari  kemudian muncul sebuah mata air di tengah kota. Penduduk berbondong-bondong mengambil air dari mata air tersebut untuk minum.
Setia pada nasehat Nabi, si pemuda tidak mau minum dari mata air baru itu. Ia berhemat air dan minum hanya dari gentong  yang disimpannya.
Pada suatu hari ia keluar untuk berbelanja di pasar. Di jalan orang-orang memandangnya dengan tatapan aneh.
“Gila. Pemuda itu gila” Orang-orang menyebutnya begitu.
“Kalianlah yang gila. Sebab kalian telah minum dari sumur itu.” Sahut si pemuda.
Berhari-hari, pemuda itu terus minum dari gentong simpanannya. Dan orang-orang terus menganggapnya gila. Lama-lama air simpanannya habis.
Kehausan, dengan terpaksa ia pun menuju mata air di tengah kota dan meminum airnya. Dalam perjalanan pulang, orang-orang melihatnya dengan mata berbinar dan berbisik, “Pemuda itu sudah sembuh dari kegilaannya.”
Di atas adalah sebuah kisah sufi. Saya tuturkan kembali, maaf kalau ada selip bahasa atau selip detil cerita. Hikmah dari cerita di atas kurang lebih adalah, bahwa kegilaan adalah relatif, dan kewarasan adalah kolektif. Yang gak ikut ombya’ing zaman = aneh, gila. Atau ga gaul.
Khususnya di masyarakat kita, entah kenapa ironi dari cerita sufi di atas sangat klop. Padahal cerita itu boleh jadi dikarang di Persia sana, bermil-mil dari sini, nyebrang laut pula.
Orang kita sering risi bila ga gaul. Memuja trend, mencintai apa yang menjadi kecenderungan orang banyak.
Ini berlaku pula untuk wabah jejaring sosial macam fesbuk. Sekarang ini, internet dianggap simbol kemajuan. Dan kalau anda berinternet dan tidak memiliki akun jejaring sosial, akan terasa aneh. Tidak heran kalau anak-anak es-de pun berbondong-bondong bikin akun di fesbuk. Sebab mereka pun sudah risih kalau dikatain ketinggalan zaman.
“Bu, akun Ibu apa? Nanti saya add dech”, tutur seorang murid kelas satu di sebuah sekolah pada ibu gurunya. Bu Guru cuma geleng-geleng dalam hati.
Frenster, fesbuk, twiter dan sederet jejaring sosial lain memang menarik. Situs seperti itu telah berevolusi bertahun-tahun untuk menyajikan sensasi-sensasi sosial dan personal yang paling kita inginkan. Karena memang jualannya itu.
Tak dapat ditampik manfaatnya pula, selain sensasi-sensasinya itu. Bahwa ia menipiskan jarak psikologis antara orang dan orang. Silaturahmi. Bahwa ia merekatkan kenangan-kenangan masa lalu dengan canda-cerita hari ini.
Yang tadinya terbentang dinding yang tinggi, malah bisa saling menulis di wall. Yang tadinya dibatasi jurang yang lebar, sekarang dibatasi pulsa saja.
Di situ pula kelemahannya. Karena tidak selamanya jarak psikologis yang sirna itu dikehendaki, dan tak selamanya kenangan-kenangan yang ada perlu digali-gali lagi. Dan dinding dan jurang psikologis itu, terkadang melayani suatu fungsi, yang kita sadari maupun tidak kita sadari. Sehingga jejaring sosial adalah semacam laboratorium besar, dimana anggotanya adalah kelinci percobaan untuk suatu iklim sosial yang sama sekali baru. Tidak berlebihan orang menyebut friendster adalah revolusi, fesbuk adalah revolusi.
Revolusi, memang sering minta banyak biaya. Biaya yang pertama adalah terkaget-kaget, mabok.
Di sekolah tempat anak kecil menawarkan add pada bu Guru itu, akhirnya dipasang juga internet. Hari pertama, staf tata usaha yang muda dan bersemangat mengajari guru-guru setengah baya fesbuk. Hasilnya, hari itu murid kocar-kacir. Guru-guru sibuk mengagumi fenomena baru itu dan terbang ke masa lalunya mencari kenangan-kenangannya yang pernah hilang.
Dasar gila. Yang namanya gila ternyata bukan benda objektif yang bisa dijauhi dengan kecepatan atau percepatan yang pasti. Kegilaan punya banyak wajah dan mencegat dimana-mana.
Termasuk fesbuker, kalau tidak hati-hati mengelola keheranan dan keinginannya, bisa dengan mudah kecanduan. Syukurlah kalau kecanduannya bisa dikelola, sehingga satu saat sadar untuk kembali memperlakukan modernitas tersebut secara proporsional.
Dari koran-koran, kelihatannya sudah banyak korban. Kasus yang melibatkan fesbuk muncul dimana-mana. Para apologis fesbuk memang bisa berkilah. Bahwa penculikan, prostitusi, perselingkuhan bisa dengan dan tanpa fesbuk. Tetapi apa bisa ditampik, bahwa fesbuk dan jejaring sosial, membuka peluang baru yang lebar untuk terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut.
Remaja memang labil. Dalam kelabilannya, sangat mungkin fesbuk membuatnya lost in forest, lalu diculik atau menculik. Seperti yang terdengar di koran-koran. Demikian pula rumah tangga, memiliki saat-saat labil. Berapakah yang lari ke fesbuk dan menemukan pelampiasan atau curhatan yang lebih melegakan ketimbang pasangannya. Biarlah Tuhan yang Maha Tahu.
Akhirnya, kita tahu, ada orang yang dianggap atau merasa gila karena tidak ikut fesbuk. Ada pula yang tergila-gila dengan fesbuk, dan ada juga yang melakukan perbuatan gila dengan memanfaatkan fesbuk. Semuanya, gila gara-gara fesbuk. (PCL)
Sumber:

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: