Air Mata Si Buaya

Rabu, 24 Februari 2010

Google
Yang menetes itu mineral, bukan air!!! 

Menangis tapi tidak keluar air mata. Buaya memang tidak bisa mengeluarkan air mata. Kalaupun mengeluarkan air mata, bukan air mata. Susah, deh!!! Apa karena otaknya cuma sebesar kacang tanah, ya?! Mungkin hatinya yang tidak jelas di mana.
Menggunakan dan memanfaatkan rasa iba serta kasihan sepertinya sudah bukan barang aneh lagi. Sudah sangat dieksploitasi malah. Coba saja perhatikan para pengemis di jalan, seperti yang diceritakan oleh cechgentong dalam tulisannya yang berjudul, “Jakarta Memang Gudang Uang” . Sungguh sangat menyedihkan melihat orang tua yang juga mendidik dan menjadikan anak-anak mereka memelas belas kasihan. Tak sedikit yang sampai mengeluarkan air mata buaya agar mendapatkan uang lembaran kertas. Menyedihkan sekali!!!
Media massa menurut saya sangat berperan dalam hal ini. Selalu saja memenangkan kaum yang lebih sederhana ataupun para kaum marjinal. Sedih, sih, sedih. Sakit, ya, sakit juga. Namun, tidak selamanya mereka harus dibela. Kalau mereka salah, harus dibilang salah. Tidak boleh dibilang benar hanya karena alasan kemiskinan dan kemelaratan serta kesalahan pemerintah di dalam mengelola negara saja. Tidak semuanya selalu benar adanya.  Ini bukannya mendidik, tetapi malah menjerumuskan. Mereka juga harus diberitahu mana yang salah dan mana yang benar. Bukan hanya diberi belas kasihan. Mereka menjadi manja dan sangat tergantung. Tidak mau juga lepas dari lingkaran mereka. Bagaimana nasib mereka kemudian?! Bagaimana nasib anak-anak mereka?! Apa nggak kasihan kalau mereka juga selalu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang memang membutuhkan jasa mereka untuk melakukan hal-hal dan perbuatan yang tidak baik?! Nanti jadi berputar-putar terus, nih!!!
 
Seorang perempuan muda pernah saya wawancarai. Dia biasanya menjadi pengemis jalanan di Jakarta dan biasanya juga mangkal di daerah seputar UKI. Tadinya saya hanya sekedar iseng saja, karena kebetulan sedang mewawancarai beberapa ibu-ibu perkasa di sana yang menjual jasa menukarkan uang untuk para kondektur bus yang membutuhkan uang dalam nominal lebih kecil. Dia tiba-tiba saja ikutan bergabung, dan mulailah saya bertanya-tanya. Menarik,soalnya. Dia sedang hamil waktu itu.
Wajahnya sangat memelas. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Dia pun mulailah bercerita tentang kehidupannya. Yah, tidak jauhlah dari segala kesusahan dan kepedihan. Saya bukannya tidak kasihan melihat dia, tetapi saya merasakan ada yang tidak beres. Saya lalu meminta dia untuk mengijinkan saya memeriksa bola matanya. Nah!!! Ketahuan, deh!!!
Mungkin ini kedengarannya sadis, ya, tetapi saya hanya mengikuti suara hati saya saja. Saya harus memarahinya. Saya mengatakan padanya, “Kamu bercerita tentang segala kesusahan dan kepedihan yang membuat kamu menjadi seorang pengemis di jalanan, tapi saya tidak bisa kamu bohongi. Kamu adalah pecandu. Kamu menjadi pengemis karena kamu pecandu. Kamu susah dan pedih karena kamu pecandu. Kamu hamil pun karena kamu pecandu. Lebih baik kamu mengaku saja. Saya tidak suka dibohongi.”
Tatapan matanya langsung berubah. Dia yang tadinya memelas menjadi sangat garang. Dia menatap wajah saya dengan penuh kebencian. Saya pun kembali berkata padanya, “Kenapa? Kamu marah sama saya? Kamu marah karena apa yang saya katakan ini benar?!
Semakin marahlah dia. Segala caci maki pun keluar dari mulutnya. Dia pun segera menyingkir dari tempat itu. Sepertinya dia tidak diterima juga oleh orang-orang di sekitar situ. Mungkin dia takut juga.
Kasus seperti dia  bukan hal yang aneh bagi saya. Banyak  anak-anak dari kalangan yang sebenarnya berkecukupan dan bahkan sangat mampu yang akhirnya malah menjadi seperti itu. Hanya untuk membeli barang-barang yang bisa memberikan mereka kenikmatan semua itu, mereka rela melakukan apapun. Mencuri, mengemis, merampok, membunuh, melacurkan diri, dan lain sebagainya. Coba saja sekali-kali pergi ke tempat para penjual jasa seks mangkal. Jangan membeli jasa mereka, ya!!! Lakukanlah pengamatan dan penelitian di sana. Biar semuanya lebih jelas. Berapa banyak di antara mereka yang melakukannya hanya untuk bisa membeli obat-obatan terlarang atau mabuk-mabukan. Tidak semua, namun banyak juga. Tanya, deh, ke mereka kenapa?! Alasannya pasti sangat klise. Mereka tidak akan menjawab terus terang pastinya. Selalu saja dialihkan kepada kemiskinan dan kemelaratan serta kepedihan dalam kehidupan mereka. Menjual rasa iba dan belas kasihan. Air mata mereka pun air mata buaya!!!
Sebetulnya yang membuat saya memiliki rasa iba karena mereka ini biasanya diusir dari keluarga. Tidak diterima lagi. Semakin-makinlah mereka susah. Sampai pada akhirnya mereka semakin juga terjerumus. Namun, buat saya ini bukanlah alasan juga untuk kemudian tidak mau melakukan perubahan. Siapa, sih, yang bisa menolong selain diri sendiri?! Biarpun banyak malaikat berusaha, tetapi bila diri sendiri pun tidak mau ditolong, bagaimana?! Apa mungkin bisa berubah?! Semua perubahan harus dari diri sendiri dulu. Tidak bisa dari orang lain!!!
Sudah sering saya dikadali buaya seperti ini. Saya pernah menuliskan cerita tentang seorang pekerja seks komersial berusia empat belas tahun yang saya “culik” dari sarang penyamun agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Sayangnya, dia hanya bisa bertahan dua minggu di rumahnya yang baru. Dia tidak bisa melepaskan diri dari kebiasaannya. Dia sudah merasa enak dengan uang yang didapatnya dari hasil menjual diri. Kalau sudah begini, mau bicara apa lagi?! Susah, kan?!
Tujuan saya menceritakan ini semua adalah agar kita semua mau untuk selalu menjadi objektif di dalam melakukan penilaian. Tidak hanya melihat segala sesuatunya dari satu sisi pandang saja. Ada banyak sisi pandang lain yang harus juga kita lihat dan perhatikan. Jangan pernah mengabaikan sisi pandang yang lain itu ataupun memungkirinya. Ini tidak akan membantu. Malah akan sangat merugikan. Negara ini membutuhkan banyak perbaikan. Sudah saatnya kita berpikir yang benar. Melakukan yang benar. Semuanya tidak boleh sembarangan. Harus benar-benar matang. Jika tidak, tidak akan pernah ada perbaikan di negara ini. Mau kita tetap seperti sekarang ini?! Nggak, dong, ya!!! Kita harus lebih baik lagi. Kita harus bisa mewujudkan segala cita-cita dan harapan bersama. Memiliki sebuah negara yang aman, tentram, adil, dan makmur. Iya, kan?!
Air mata buaya itu tidak akan pernah habis sampai kapan pun juga. Namun kita jangan pernah membiarkannya membanjiri pemikiran kita sehingga kita pun tenggelam di dalamnya. Lakukanlah sesuatu!!! Jadikan air mata buaya itu mengering dan terus mengering!!!
Semoga bermanfaat!!!

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: