Maulid Nabi, Kenangan Masa Lalu dan Realitas Sosial Masa Kini

Sabtu, 27 Februari 2010

Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, dilakukan dengan beragam kegiatan. Wacana mengenai perlu –tidaknya, bid’ah - tidak bid’ah jika memperingatinya terus terjadi seiring dinamika keberagamaan umat Islam. Bagi saya, peringatan kelahiran Nabi besar yang satu ini mengingatkan saya pada peringatan serupa saat masih kecil dan beranjak remaja di desa.
Maulid Nabi Muhammad saw di desa saya, ketika itu, diperingati dengan cara sederhana sebagai suatu tradisi yang dihayati dan dilakukan turun temurun. Peringatan dilaksanakan di ‘langgar ( surau )’ kecil milik pakde Kaum Dullah Maksum. Kaum adalah sebutan untuk jabatan yang disandang seorang tokoh atau pemuka agama di desa. Di tempat lain ‘kaum’ disebut dengan ‘modin’. Di langgar ( surau ) pakde kaum itu, bertahun tahun sampai beliau wafat, maulid diperingati ala desa kami. Acaranya sangat khas yaitu dengan bana ‘slawatan’. Slawatan atau aslinya ‘ membaca shalawat Nabi” adalah jenis kesenian pembacaan rangkaian shalawat Nabi yang dinyanyikan bersama dengan iringan ‘terbang’. Terbang adalah perangkat musik rebana yang terdiri dari rebana kecil, sedang dan besar, dilengkapi dengan kendang. Para pemain menyanyikan shalawat bersama sama dengan iringan terbang terbang dan kendang. Di telinga saya, paduan suara nyanyian dan terbang serta kendang sungguh indah dan khas sekali. Ketika beranjak remaja, saya sempat memainkan kendang mengiringi irama musik yang dilaintunkan. Pada bagian menjelang akhir slawatan yang berlangsung sekitar hampir lima jam, nada shalawat meninggi hingga tiga oktav. Kami menyebutnya dengan ‘ngelik’. Hanya ada satu orang yang bisa ‘ngelik’ dengan baik, yaitu Kebayan Mad Gardi. Di akhir acara kenduripun di gelar. Beberapa keluarga menyediakan makanan untuk kenduri yang dibawa dengan ‘ceting’ yaitu tempat makanan yang terbuat dari bambu. Saya yang selalu membawa ceting itu yang sudah disiapkan ibu. Kamipun makan bersama sama. Indah betul kebersamaan itu. Tak pernah kami menyoal apakah kegiatan memperingati Maulid itu termasuk dalam kategori bid’ah baik khasanah atau dhalalah. Yaitu suatu perbuatan ibadah yang menambah nambah di luar yang dilakukan atau dicontohkan Rasulullah. Yang pasti kami merasa damai melakukannya.
Pembicaraan mengenai bid’ah tidaknya memperingati Maulid Nabi, baru saya dengar dengan santer wacananya ketika sudah tinggal di Jakarta dan mulai terlibat mengurus Masjid di lingkungan perumahan kami.
Merujuk pada sejarah, peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw mulai dilaksanakan sejak 300 tahun setelah Nabi saw wafat. Menurut berbagai sumber dari pejabat pejabat negara yang memperingati pertama kali adalah Malik Muzhafar Abu Sa’id penguasa Irbil, Irak. Sejak itu peringatan Maulid Nabi saw dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun dalam upacara kenegaraan. Di Indonesia, berpuluh tahun Maulid diperingatan di Istana Negara Jakarta. Di berbagai tempat di Indonesia, peristiwanya diwujudkan dalam berbagai acara berbaur dengan tradisi masyarakat setempat. Di lingkungan keraton Yogya digelar Sekatenan dan dipuncakkan dengan Grebeg Maulid. Di kampung saya, ya itu tadi, dengan selawatan.
Di mesjid di komplek perumahan tempat saya tinggal bertahun tahun maulid tidak dirayakan. Baru tahun ini kami sepakat kembali merayakan. Tujuannya mengingat kelahiran Pemimpin Umat akhir jaman ini dan mengambil hikmah kebaikan. Penceramah pada peringatan Maulid, Sabtu 27 Pebruari 2009, adalah Aa Gym. Themanya Menauladani Rasululllah dalam Menegakkan Ukhuwah Islamiyah.

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: