Revolusi Membaca Buku

Minggu, 07 Maret 2010

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia sebenarnya tak memiliki reading habit yang patut dibanggakan. Inilah masalah fundamental yang mutlak diselesaikan.

Tentu saja, patut diajungi jempol manakala sejak 2010 Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sungguh-sungguh mewujudkan niat membangunan library corner di berbagai pusat keramaian, seperti mal. Apalagi, mal-mal kini memang bertebaran di berbagai kota di seluruh penjuru Nusantara. Mal-mal tumbuh laksana jamur di musim hujan. Bisa dibayangkan kelak jika pada setiap mal benar-benar terdapat library corner alias taman bacaan. Kaum muda dan para pengunjung mal kembali diperkenalkan pada perpustakaan yang di dalamnya tersimpan buku-buku.


Paling tidak di atas kertas, itulah yang bisa diharapkan. Melalui perpustakaan di mal-mal masyarakat didorong mencintai buku. Sehingga, masyarakat pun bersedia meluangkan waktu membaca buku. Dengan buku pula Indonesia diandaikan memiliki pijakan dasar menyonsong hadirnya knowledge society. Tetapi, apakah dengan berdirinya perpustakaan di mal-mal itu otomatis mencetuskan timbulnya revolusi membaca buku, tentu masih harus dibuktikan secara saksama. Jelas pada akhirnya, bahwa tersedianya perpustakaan merupakan satu hal. Sementara, bangkitnya kesadaran membaca buku merupakan hal lain. Keberadaan sebuah perpustakaan tak selalu berbanding lurus dengan tumbuhnya kebiasaan membaca buku. Perpustakaan tak serta-merta melahirkan reading habit.

Pada titik inilah sebuah persoalan lantas mencuat ke permukaan. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia sebenarnya tak memiliki reading habit yang patut dibanggakan. Sangatlah minoritas jumlah penduduk yang aktif membaca buku. Bahkan di kalangan pelajar dan pendidik pun, reading habit masih jauh dari harapan. 

Mungkin karena alasan ini Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh berbicara tentang terbangunnya taman bacaan masyarakat di beberapa lokasi seperti di pusat-pusat keramaian. Mendiknas mengatakan hal itu usai membuka pameran edukasi Kompas Gramedia Fair di Senayan, Jakarta, Selasa (23 Feb. 2010). Tapi pertanyaannya kemudian, mungkinkah upaya ini sungguh-sungguh mampu mencetuskan revolusi membaca buku?

Berkenaan dengan library corner, ada dua hal yang penting disimak secara kritis. Pertama, keberadaan library corner di pusat-pusat keramaian ternyata tidak bertitik tolak dari kejelasan konsepsi. Persis sebagaimana termaktub ke dalam pernyataan Direktur Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Kemendiknas Ella Yulaelawati, tak ada kejelasan hubungan antara library corner dan revolusi membaca buku. Ella Yulaelawati hanya berbicara tentang “buku-buku yang menarik dan sesuai dengan gaya hidup pengunjung mal”. Ia bahkan mengemukakan pernyataan yang kurang argumentatif berkenaan dengan mal sebagai pusat kebudayaan.

Kedua, keberadaan library corner di pusat-pusat keramaian terkesan hanyalah proyek belaka. Itulah mengapa, Ella Yulaelawati lebih menekankan pembicaraan tentang “dana awal” untuk membangun taman bacaan di mal-mal. Dana minimal yang dibutuhkan sebesar Rp 70 juta dan dana maksimal sebesar Rp 200 juta. Untuk Jakarta saja, sudah ada lima mal yang bersedia bekerjasama dengan Kemendiknas mendirikan library corner. Itu berarti sudah harus tersedia dana awal pada kisaran Rp 350 juta hingga Rp 1 miliar.

Dengan dua hal itu maka sesungguhnya sulit mengharapkan bakal terjadi revolusi membaca buku. Library corner di pusat-pusat keramaian sekadar berdiri tanpa kejalasan eksistensi.
Bagaimana pun, revolusi membaca buku harus dimulai dari manusia Indonesia sendiri. Keharusan membaca sejumlah buku per tahun per siswa sesuai dengan jenjang pendidikan merupakan pilihan yang tak terelakkan. Guru-guru dituntut memiliki reading habit yang tinggi agar mampu mendorong para siswa bersungguh-sungguh membaca buku. 

Alhasil, library corner memang penting. Tapi lebih penting lagi menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk memiliki reading habit yang kuat. Untuk keperluan ini, ajari masyarakat membaca buku dengan berbagai sudut pandang. Dorong masyarakat mempersepsi diri mereka seakan-akan pujangga, ilmuwan, kritikus dan editor saat membaca buku. Sehingga, membaca buku sama dan sebangun maknanya dengan berdialog secara kritis dengan penulis buku. Membaca buku lalu benar-benar menjadi sesuatu yang fascinate, menyenangkan. Dari sini bisa diharapkan munculnya revolusi membaca buku.[]

Oleh Anwari WMK

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: