Hamil Luar Nikah

Selasa, 30 Maret 2010

Google)
Tunggu dulu, sampai pulang penghulu (Gbr: Google)

Dengan senyum sumringah perempuan muda cantik itu mengelus perutnya yang membusung. Wajahnya sedikit memucat. Tetapi dari cahaya matanya, terlihat ia begitu lelah. Dari bibirnya keluar kalimat pengakuan,“aku hamil di luar nikah.” Sepertinya ia tidak merasa berdosa dengan mengatakan seperti itu. Seakan soal hamil luar nikah itu bukan satu masalah sama sekali. Atau mungkin, ia memang memiliki jiwa yang begitu kuat. Lalu berpikir,”aku memang salah, aku sudah melakukan sesuatu yang seharusnya hanya kulakukan setelah nikah. Tetapi, itu benar-benar sudah terjadi. Aku sudah hamil. Membiarkan diri dimakan rasa bersalah hanya akan membuat janinku terganggu perkembangannya.”
Ada dua sisi yang saya dapatkan di sana. Sisi moral, hingga ia hamil sebelum pernikahan terjadi. Sisi tanggung jawab seorang perempuan. Ada pembauran antara positif dan negatif. Hamil luar nikah, entah dengan ‘menghakimi’ nantinya saya sendiri akan disalahkan, tetap saja kehamilan itu tidak bisa dibenarkan. Tetapi, nanti kalau saya menyebut begini, sebagian yang kalap kemungkinan akan mengatakan saya sok moralis.
Walau begitu, saya berpegang pada realitas, bangsa ini adalah bangsa yang beragama. Segala hal ditentukan dalam agama, antara boleh dan tidak. Jika kemudian sesuatu yang jelas sudah melanggar nilai agama masih juga tidak berani dikatakan sebagai kesalahan, keluar saja dari agama. Dan tiru saja seperti yang dengan cerdas dan berani dilakukan sapi, ayam, kerbau dan sebangsanya. Soal resiko, tanggung sendiri–maaf, sedikit ngedumel–.

Saya merasakan miris disebabkan itu dilakukan oleh selebriti yang notabene figur yang sangat sering dipelototi sekian juta anak bangsa. Apalagi mereka yang berada di usia rentan, bukan tidak mungkin akan ada yang berpikir,”oh, hamil luar nikah bukan masalah toh? Buktinya sama saja yang hamil dengan menikah dengan yang tidak.” Apalagi layar kaca dengan terang memampangkan senyum sumringah artis ini. Tak terbayangkan, andai ke depan semua kepala anak bangsa berpikir, “untuk apa repot-repot nikah jika dengan tidak menikah saja bisa mendapatkan yang enak-enak.”
Memang, kalau ingin menarik pelajaran dari artis yang hamil di luar nikah tersebut, ia baik karena membiarkan janin itu tumbuh, bahkan hari ini saya membaca ia sudah masuk rumah bersalin (bukan rumah sakit. Sebab hamil itu bukan penyakit). Baik karena ia tidak sekejam banyak pelaku seks luar nikah yang kemudian malu dengan kehamilan terus memilih aborsi, sedang saat melakukan seks itu tidak malu meskipun terlihat seperti sapi. Namun begitu, tidak lantas mengatakan,”itu manusiawi.” Terbukti, “manusiawi” yang terlalu sering diucapkan telah semakin banyak menjerumuskan manusia
Google)
Sesal dulu pendapatan, sesal kemudian memang lebih baik jangan aborsi (Gbr: Google)
dalam kedunguan.
***
Jika persoalan ini disepakati sebagai masalah yang serius–bagi yang memandang masalah ini sebagai manusiawi, silahkan tinggalkan tulisan ini–, saya berpikir hanya ada satu solusi. Tegas, tegas dan tegas. Ketegasan yang dimaksud bukan hanya bisa memasang muka sangar yang memualkan di depan orang-orang, tetapi bagaimana agar bisa tegas juga pada diri sendiri.
Toleran itu bagus. Demokratis itu baik. Memberi kepercayaan itu tidak salah. Tetapi menjadi bermasalah saat orangtua, orang-orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya berpandangan:”aku sudah demokratis berarti aku modern. Aku toleran berarti aku intelek. Aku memberi kepercayaan berarti aku benar-benar dewasa.”
Itu jelas salah kaprah. Orangtua yang tidak tegas saya kira tidak akan pernah bisa membentuk anak yang tegas. Sedangkan ketika semakin banyak yang tidak tegas, maka negara ini lambat laun akan menjadi bangsa terbesar yang melempar tinja ke muka agama. Sampai, mereka yang sudah gandrung menyebut agama tidak penting, semakin berteriak gembira,”lihat tuh yang gembar-gembor dengan kelebihan agama, ternyata juga tidak ada apa-apanya.”

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: