Sudah Miskin, Perokok Pula…!

Senin, 15 Maret 2010




The government spends 5 times more per year treating smoking-related illnesses than it receives in tobacco excise taxes. (Photo: Afriadi Hikmal, JG) — kata The Jakarta Globe di sini: The Cost of Smoking. 
 
Sudah merupakan praktek yang merugikan tapi kok terus berlangsung?
Perokok paling banyak di Indonesia sudah pasti dari kalangan menengah ke bawah dan yang paling banyak adalah kalangan bawah yang secara faktual jumlahnya paling banyak.
Orang-orang kaya bahkan pemilik rokok itu serta keluarga dan kerabat-keribit mereka belum tentu merokok karena mereka tahu apa bahaya merokok.
Terima kasih untuk Sis Soewardjo yang memberikan komentar berikut dalam postingan saya sebelum ini:

Informasi kepada para perokok mengenai pajak yang dikenakan per 1 x isapan/ sedotan rokok ( untuk jenis filter atau sigaret kretek mesin ):
Tarif pajak spesifik per batang rokok = Rp. 310,-
PPN per batang = ( 8,4 % x Harga Jual Eceran ) / isi dalam pak = ( 8,4 % x Rp. 8.050,- ) / 12 = Rp. 56,35
Jadi pajak per batang Rp. 310 + Rp. 56,35 = Rp. 366,35,-
Asumsi : bila dalam 1 batang rokok habis untuk 13 kali isapan ( maaf angka sial ), maka per hisapan rokok Anda pajaknya = Rp. 366,35 / 13 = Rp. 28,-
Dari mana saya tahu, karena saya kerja di pabrik rokok, he he he.

Waduh, itu berarti keuntungan yang para pemilik perusahaan rokok peroleh itu berasal dari orang-orang miskin kebanyakan yang membeli rokok-rokok berbagai merek itu kan.
Muhammad Yunus bilang, memang itulah kontradiktifnya sistem perekonomian global yang tidak adil: justru orang-orang miskin yang musti membayar mahal. Sudah bayar mahal-mahal, mereka pun harus mengorbankan kesehatan mereka pula.
Rokok sama seperti candu di zaman kolonial. Waktu itu pemerintah Belanda di Nusantara juga memperbolehkan peredaran rokok secara legal.
Sama seperti pemerintah Indonesia sekarang ini bahkan sebelum sekarang ini kan.
Apa maksud sebenarnya dibalik pembiaran proses pemerasan dan pembunuhan pelan tapi pasti ini?
Membiarkan masyarakat banyak merokok apalagi kalangan menengah ke bawah, apalagi yang miskin yang jumlahnya banyak di negeri ini adalah sebuah metode untuk menjinakkan. Sama seperti candu. Kalau orang sudah beli peroleh candu, bagi mereka yang sudah adiktif, dunia menjadi “aman” di mata dan khayalan mereka walau mereka bisa jadi kadang sadar juga bahwa rasa aman itu adalah ilusi belaka.
Rokok itu bagi pecandunya berfungsi mirip dengan suap terhadap para koruptor. Koruptor senang kalau ada yang menyuap; perokok senang kalau ada rokok.
Bahkan, ada juga perokok yang ngefans berat sama Marxisme membela para perokok. Aduh, itulah, kalau orang sudah biasa pakai narkoba atau rokok (tak ada bedanya itu kan sebenarnya, malah bagi saya rokok bisa lebih berbahaya karena asapnya ke mana-mana), akal sehat bisa lenyap sama sekali. Bagi pecandu apa saja itu, ya itulah yang sering terjadi: kehilangan akal sehat. Seorang yang senang Marxisme membela kepentingan pemilik perusahaan rokok yang menghisap darah dan kesehatan warga negara kebanyakan apa tidak lucu itu namanya? Kehilang akal sehat.
Anak-anak dan remaja pun, sebagian dari mereka merokok. Kalau saya kebetulan lihat ada anak-anak yang masih SD atau SMP dan SMA merokok, waduh, saya merasa kasihan sekaligus ingin menjitak kepalanya. Generasi korban iklan rokok baik yang ada di media massa maupun dari para orang dewasa yang ada di sekitar mereka. Generasi goblok. Jadi apa mereka ini nanti? Kecil-kecil sudah kecanduan rokok.***

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: