Bismillahirrahmaani rrahim.
Maulid Nabi Shallallahu’ alaihiwasallam
Hampir setiap tahun, permasalahan tentang
perayaan maulid, atau maulud nabi ini selalu saja menjadi suatu pembahasan yang
hangat.
DiMesir, perayaan Maulud nabi ini, cukup
meriah, dikedai-kedai, sampai ada jualan kue maulid, yang rasanya sangat manis dan
keras, meski bentuknya menarik. Dimana ada ‘arusah(boneka) mauludnya. Saya
belum mempelajari darimana asal muasal boneka maulid nabi tersebut.
Dikedutaan, di Pengajian El Muttaqin Ibu2,
selalu diadakan acara maulid nabi ini dengan pengajian mingguan, hanya pas
acara maulid nabi, pembahasannya tentang sejarah Rasulullah.
Berbeda ulama dalam menyikapi perayaan maulid nabi
ini. Jangankan antar sesama muslim, saya dan suami saja masih berbeda pendapat
dalam hal ini, sampai pagi nggak akan selesai pembicaraan dan diskusi dalam hal
ini.
Saya tetap berpandangan, kalau acara perayaan maulid
nabi, ataupun perayaan tahun baru baik hijriyyah ataupun miladiyah, kalau hal
itu dikaitkan dengan urusan agama, dan diwajibkan, maka jatuhnya pada bid’ah.
Karena apa, karena dalam masalah ibadah sifatnya adalah tauqifiyyah, harus ada
dalil yang menyuruhnya, kalau tak ada dalil, ngapain diadakan?, itu namanya
kita telah menambahi hukum yang tidak ada dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat
juga tabi’in.
Sementara, kalau hal tersebut berupa mu’amalah,
berdagang, dllnya hubungan sesama manusia, sepanjang tidak ada larangan, boleh2
saja dilakukan. Ini kaedah asalnya.
Sekarang, kita lihat bid’ah itu apa sih..?
Bid’ah itu secara bahasa adalah :”Mengadakan
sesuatu yang belum ada dari sebelumnya, baik itu urusan agama ataupun
duniawi”.
Secara Syar’i adalah :”Mengadakan sesuatu
yang menyalahi aturan agama, baik sesuatu itu tak sesuai dengan AlQuran,
hadits, ataupun sikap para khulafaurrasyidiin al muhtadiin”.
Banyak yang menduga, kalau masalah duniawi,
maka Islam tidak berhak campur tangan didalamnya, dengan alas an hadits
“Kamu yang lebih tahu akan urusan dunia kamu, aku tahu dengan urusan
akhirat kamu”.
Padahal, Islam datang mengatur segala urusan
dunia dan akhirat, urusan agama dan urusan dunia juga.
Apapun urusan dunia, kalau itu bertentangan
dengan agama, tetap salah. Patokannya adalah ukuran Syar’i. Kalau kita
mengatakan itukan urusan dunia, mau salah menurut pandangan agama, agama tak boleh
campur tangan didalamnya. Ini adalah pemikiran manusia yang membedakan atau
memisahkan antara dunia dan akhirat.
Kita tidak sedang membahas hal itu, yang
dibahas adalah masalah merayakan maulid Nabi.
Sekarang kita tanyakan dulu, manakah dalil yang
menyuruh kita merayakan maulid nabi, merayakan perayaan raksussanah( tahun baru
hijriyyah ataupun miladiyyah)?
Ada yang memakai dalil, dalam perayaan mauled nabi,
dengan Rasulullah berpuasa setiap senin kamis, juga hadits barang siapa yang
memberikan contoh yang baik, maka dia akan diberi ganjaran pahala, barang siapa
yang memberikan contoh yang jelek, dia akan diberi ganjaran dosa. Dengan dalil,
ini ada yang membagi bid’ah kepada dua hal, bid’ah yang baik dan bid’ah yang
buruk.
Padahal, itu hanyalah bid’ah secara bahasa,
yang dikatakan bid’ah bukankah sesuatu yang baru diadakan yang menyalahi agama?
Disinilah letak perbedaannya.
1)Apakah
mereka yang mengadakan perayaan itu mewajibkannya setiap tahun?
Kalau jawabnya “Iyah”, maka seseorang
tersebut telah dikatakan menambah hukum agama, dan dia telah menyalahi aturan
agama, karena perintah tersebut tidak ada dalam Islam.
Tapi, bagaimana dengan para Ibu2 pengajian yang
memang tiap minggunya atau tiap bulannya dia mengadakan pengajian, dan tiba
saat bulan rabi’ul awwal diadakan topic ceramahnya masalah sejarah nabi, apakah
itu dikatakan bid’ah juga? Yah..enggaklah, ..karena dalam hadits dan AlQuran
kita ummat Islam toh diperintahkan bersilaturrahmi, juga kita diperintahkan
untuk belajar mengkaji kajian keIslaman.
2) Apakah mereka yang merayakan perayaan mauled
Nabi itu sebagai suatu ibadah dari agama? Kalau jawabnya “Iyah”, maka,
perlu dipertanyakan mana dalil perintah merayakan hal ini, karena sejak semula,
namanya ibadah sifatnya adalah tauqifiyyah( harus ada suruhan dari agama).
3) Kalau yang merayakan itu dengan berdalilkan
bahwa dalam Islam bid’ah itu ada dua, bid’ah yang baik dan buruk. Lantas
bagaimana dengan lafaz keumuman hadits Rasulullah :”Kullu bid’ah
dhalaalah, kullu addhalaalah finnaar”(Lafaz kullu dan nakirah pada bid’ah,
merupakan lafaz umum), menandakan segala apa yang dikatakan bid’ah(menurut
koridor defenisi agama) adalah sesat, segala yang dikatakan sesat masuk dalam
neraka.
Apakah mungkin lafaz itu kita khususkan dengan penambahan
kata “Hasanah=baik, dan saiiah=jelek” .
Contoh:Kullu bid’ah (saiiah) dhalaalah, kullu
adhalalalah (Al madzmuumah=tercela) , berada didalam neraka?
Hal ini akan bertentangan dengan defenisi
Bid’ah secara syari’at. Sebab bid’ah secara syari’at adalah sesuatu yang baru
diadakan dan menyalahi syari’at”.
Mana mungkin sesuatu yang bertentangan secara
syari’at dikatakan hasanah=baik?
Lantas, bagaimana dengan perkataan sahabat Umar
bin Khattab :”Ni’matil bid’ah haadzihi” saat tarawih secara berjamaah
pada bulan Ramadhan?
Pertama, perkataan tersebut bid’ah secara
bahasa, dan hakikatnya juga, hal tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah,
shalat tarawih berjamaah, hanya karena Rasulullah khawatir hal ini akan
diwajibkan oleh ummatnya, dan akan memberatkan, maka pada malam selanjutnya
beliau shalat tarawih sendirian dirumah beliau, namun hakikatnya tetap ada
syari’at atau contoh dari Rasulullah sendiri.
Lantas bagaimana dengan pembukuan AlQuran,
penulisan titik, dllsbnya. Ini hakikatnya sudah disuruh oleh Rasulullah, kepada
abu Saah(Rasulullah pernah menyuruh untuk menuliskan AlQuran), dan masalah
penambahan titik, tanda baca, dan sebagainya itu, hal ini merupakan masuk dalam
kaedah “Al Mashalih almursalah”( Kemaslahatan untuk ummat Islam).
Sebenarnya sangat banyak dalil2 mereka yang
membolehkan perayaan mauled nabi ini, dan sebanyak itu pula bantahan yang
mengatakan mauled nabi itu bid’ah. Kalau dibahas disini terlalu panjang.
Yang intinya sebenarnya begini saja. Silahkan
bagi mereka ingin merayakan maulid Nabi tersebut, dengan dalil untuk lebih
mencintai Rasulullah, padahal, kalau dipikir-pikir, apakah bukti cinta kita dengan
mengadakan perayaan tersebut, bukti cinta Rasulullah yang dengan melaksanakan
perintahnya, menjauhi larangannya, mengikuti sunnahnya dan menjauhi apa yang
tidak disunnahkannya. Dalil, karena cinta Rasulullah itu saya rasa kurang
tepat.
Kalau
niat datang ke tempat pengajian tersebut kita mau mengkaji Islam, silaturrahmi masak
kita harus katakan dia dah melakukan bid’ah pula, bukankah belajar,
silaturrahmi dalam Islam disuruh?
Tetapi, mengkhususkan waktu, tempat itu yang
tidak boleh, sepanjang hal itu tak ada suruhan atau larangannya dalam agama.
Apalagi sampai mewajibkannya. Kalau kita dzikir, toh berdzikir kita disuruh
kapan dan dimana saja(asal bukan ditempat larangan, spt wc).
Soal hadits Rasulullah puasa senin kamis,
karena beliau dilahirkan, seharusnya yang kita tiru adalah puasa senin dan
kamis, bukan senin saja, dan bukan pula bulan rabi’ul awal saja. Apalagi, kalau
katanya kelahiran Rasulullah dibulan 12 Rabi’ul awaal, bukankah pada 12 Rabi’ul
awwal itu justru wafat beliau juga. Masak kita harus bergembira disaat beliau
wafat pada tanggal atau bulan Rabi’ul awwal itu?(Ada pendapat lain mengatakan
tgl 9 Rabi’ul awwal beliau dilahirkan, bukan 12, Allahu’alam) . Kalau tanggal 12,
ataupun dibulan Rabi’ul awwal, suatu hal yang aneh, dimana saat beliau
meninggal kita justru merayakannya atau kita begembira?
Namun, kalau orang-orang mengadakan pengajian,
ceramah tentang sejarah Rasulullah kita katakana mereka melakukan bid’ah pula,
yah jelas kita salah. Masak orang belajar dan ceramah keagamaan dilarang? Kita
hanya akan mengatakannya salah, kalau mereka mengkhususkan, ataupun mewajibkan
bulan itu dengan perayaan maulid nabi, dengan nyanyian dan makanan mewah segala.
Karena hakikatnya perayaan itu sendiri tak ada diperintahkan, ataupun dilakukan
oleh Rasulullah dan sahabat serta tabi’in.
Inilah sebenarnya, selalu menjadi perdebatan
antara saya dan suami. Ketika ada Ultah, saya dan suami diundang, kita harus
berdebat dulu, yang repotnya kalau yang mengundang adalah pejabat dimana suami
bekerja, beliau disuruh bertugas pula
dalam acara itu, sementara suami ngajak saya ikut. Saya sendiri suka
serba susah, dengan lingkungan yang sudah menjadi tradisi, kita hanya mampu
diam.
Begitu pula saat pengajian Ibu-ibu, saya juga
sempat sampaikan, dan didiskusikan masalah ini. Saya datang, karena saya diberi
tugas untuk MC, saat itu beberapa kali, saya juga ikut bertanya pada sang
ustadznya masalah ini, bagaimana pendapat beliau masalah merayakan mauled nabi
ini.
Yang paling aneh adalah seorang ustadz yang
mengatakan ultah ataupun mauled nabi sah-sah saja, meskipun tidak ada dalilnya,
sepanjang itu baik buat kemaslahatan ummat? (Saya kaget ketika itu, tapi saya
tak mau mempermalukan dia didepan ibu2 lainnya, kalau saya bantah lagi, lagian
waktunya juga dah habis, dan tidak enak juga masak yang bertindak sebagai MC
yang banyak bicara?).
Terakhir, kali yang lain saya juga bertanya
pada salah seorang ustadz yang cukup mashur dikalangan ibu2 ini. Alhamdulillah
kita dah sepakat, sepanjang itu diwajibkan, maka hukumnya bid’ah, karena tak
ada perintah agama untuk merayakan maulid nabi tersebut.
Tapi juga mengatakan orang yang mengaji tentang
ke Islaman, kebetulan pas bertepatan waktunya bulan itu, kita katakan dia
pelaku bid’ah pula, iyah jelas kita juga salah. Karena memang pengajian itu
rutin dilaksanakannya tiap minggu, mengkaji tentang keIslaman.
Yang masih sangat sulit sekali saya untuk
menyampaikannya adalah masalah perayaan tahun baru, baik hijriyyah, ataupun
miladiyah, hari ultah,..
Secara pribadi, saya tak ingin merayakan ultah
anak-anak. Yang paling repot bagi saya, adalah ketika saya diundang dalam acara
itu. Kadang saya datang demi menjaga perasaan yang mengundang, atau
silaturrahmi dengan ibu2 lainnya, kadang saya beri berbagai macam alasan tak
datang. Namun hakikatnya, hati saya mengingkari perayaan Ultah tersebut. Alasan
saya, hanya karena itu tak ada suruhannya dalam agama, dan juga merupakan
tasyabbuh dengan suatu kaum yang kaum itu bukan Islam.
Allahu Ta’ala a’lam bisshawaab.
Cairo, 1 Maret 2010. Rahima S.Yusuf .S
Wasssalamu’alaikum. Rahima.S.Sarmadi. Abd.Rahim. (Doqqi,Cairo)
“Sebaik-baik manusia, adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lainnya”.
0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini:
Posting Komentar