Ritual Orchestra

Minggu, 07 Maret 2010

pagi yang mungkin pagi... tapi entahlah
pagi yang mungkin pagi… tapi entahlah


Hening, sepeti air mengalir pelan. Senyawa alam perlahan merayap menjadi symponi, merekah menjadi abu – abu lalu kembali senyap. Kadang menjadi warna saga dalam memoar para penyair remang. Samar perlahan pelan. Menjadi bait puisi punjaga kesepian. Begitu juga pagi, menghiasi mentari dengan kehangatan hampa. Prastasi kenangan telah mengeras, menjadi batu tonggak cerita lama. Dan seperti biasa sebelum dimainakan, sebelum nafas menjadi abu-abu. Sebelum malam menjadi arang anarki. Apa merindu pagi itu tabu, kadang seperti not samar yang merambat dalam not putih di tuts piano tua gelam dan bisu, selebihnya hanya seruan halus tentang arah musik.

Pekat, seperti jiwa-jiwa tanpa nama. Kembali hening. Do, bahkan re bersatu dalam harmoni. Fa mengarah brahi pada sol. Ada cemburu pada mi, terlewat begitu hampa la mengaduh. Do kembali mengadu pada tuhan. Biolamengalir perlahan, begitu juga senar gitar bergetar membelah cabikan bass yang menyentak drum. Sepasang mata kekasih menggoda dalam syahdu. Kembali menjadi jingga berarah dalam abu – abu. Seperti kokain dalam asap – asap. Do mengaduh begitu juga la. Re bersetubuh dengan Mi.mengadung sol yang tebal lebat dan menekan.


Ah, samar. Bahkan samar seperti jiwa kosong. Serpihan not menjadi dawai yang menghayutkan. Berdarah – darah, berlari menjadi abu – abu. Ah, ternyata not itu rumit, serumit cinta remaja dalam larutan yang memabukan. Gila, tak perlu berlari. Karna ini ritual yang harus di jalankan. Semua mengalir bagai darah segar menetes dalam nadi terputus. Gamang, mati atau bahkan kosong. Atau mungkin di sebut kosong. Ritual orchestra memapah kenangan dalam jas abu – abu milik sapaan lama.
Pagi saat petunia menjadi ruh, saat matahari adalah jiwa remang yang hinggap saat siang. Do kembali berteriak, mi, dan Fa bersatu dalam cumbuan. Dan semua menjadi jelas ketika tirai di tutup. Riuh. Sepi dan kembali hening.

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: