Menjaga keselamatan sebaik mungkin tentunya selalu kita lakukan. Siapa sih yang tidak ingin sehat dan selamat dari marabahaya. Namun apa daya apabila Dia berkehendak lain….
Sebuah cerita mengganggu pikiran saya beberapa hari ini. Kejadian ini menimpa seorang kenalan orang tua saya. Pada suatu pagi, sang ayah entah karena apa hendak pergi ke luar kota, namun entah karena alasan apa pula, si ibu menolak. Terjadilah percekcokan singkat diantara mereka. Sebenarnya pertengkaran ini sudah biasa terjadi, namun itulah awal dari musibah yang akhirnya harus mereka alami. Dalam keadaan jengkel, si ayah pergi ke rumah temannya. Hingga larut malam dia disana. Dalam keadaan setengah mabuk, si ayah pulang ke rumah. Entah karena sebab apa, dia tidak bisa masuk melalui pintu depan. Dia kemudian memanjat tembok belakang rumahnya. Kejadian ini pun sudah biasa terjadi dalam keluarga tersebut. Namun hari itu, nasib baik tidak berpihak pada mereka. Saat memanjat tembok belakang tersebut, si ayah terjatuh, dan meninggal. Kini, si ibu berulang kali merasa menyesal, mengapa tidak membiarkan saja suaminya ke luar kota hari itu, mengapa mereka harus bercekcok, mengapa dan mengapa…. Andai saja begini dan begitu….
Seringkali dalam hidup ini kita mengalami penyesalan. Mengapa begini dan mengapa begitu, andai saja waktu itu begini dan begitu… kata syukur sangat sulit terucap di kala duka menghampiri. Namun, andaikata kita mau berpikir ulang, dalam keadaan paling penuh duka sekalipun, selalu saja ada hal yang bisa disyukuri. Ibuku pernah berkata padaku, “hidup di pulau Jawa ini paling enak. Dalam keadaan apapun selalu aja ada ‘slamet’ dan ‘untung’.” (karena kebanyakan nama-nama orang di pulau jawa menggunakan kata ‘slamet’ dan ‘untung’). Maksud ibuku adalah, dalam keadaan apapun hendaknya kita selalu mengucap syukur atas anugerahNya yang tak terhingga.
Aku dulu tak pernah bisa mengerti makna perkataan ibuku. “Lah wong kena musibah kok bersyukur, ya mana isa bu. Marah dan sedih yang pasti.” Saat itu ibuku hanya tertawa, “wajar, kamu masih anak-anak.”
Hingga suatu hari ketika aku mengetahui bahwa bibiku, orang yang mengasuhku sejak kecil, berada di ‘ujung waktu’. Aku menghabiskan banyak waktu mendampinginya di saat-saat terakhirnya. Suatu ketika dia melihatku menangis.
“Kenapa? Orang mati itu wajar. Lihat tuh, orang mati aja ga ada yang mau balik kesini. Artinya disana enak. Kok malah bok tangisi tow.”
“Halah… kok ya sek isa digawe guyonan tow. Memang e bibi ga ngerasa sedih tah? Kalau waktunya tiba, bibi akan meninggalkan kita semua.”
Bibiku tertawa, dia bilang, “aku ingin kelak kalau meninggal, aku dibakar, dan abuku disebar di laut. Agar aku bisa mengembara ke seluruh dunia. Kalian kelak ketika dewasa, tidak tahu akan tinggal dimana. Jadi kalau aku di laut, dimanapun kalian, aku masih bisa menjaga dan menjenguk kalian, kan.”
Aku tidak habis pikir, mengapa dia menghadapi maut dengan senyum, dengan rela dan ikhlas. Membahas masalah ‘mati’ dengan begitu tenang, tanpa beban. Padahal hatiku selalu merasa terluka setiap teringat hal itu.
“Oalah nduk, wes tow ga usah dipikiri. Kamu tahu, aku itu sudah bersyukur banget bisa hidup sampai sekarang. Lihat kalian, arek nakal-nakal iki wes gedhe-gedhe, ternyata yo sayang kabeh karo aku. Ga sia-sia dulu aku ngabisin waktu mlayu-mlayu nyuapin kalian nasi. Ga sia-sia bibirku iki sampai tipis ne ngomeli kalian. Saiki kenyataannya, kalian yo dadi nggenah kabeh. Sakit ngene iki ga seberapa, ora usah dipikiri. Lihatlah betapa Dia memberiku lebih dari yang aku minta. Dalam keadaan sakit, aku masih bisa ngemong kalian, masih bisa melok kalian dolan kemana-mana. Justru karena aku sakitlah, maka aku bisa melihat dengan nyata, betapa kalian ternyata sangat menyayangi aku. Kamu yang kupikir benci padaku, ternyata yo ngalem banget ngene, memang kamu iku cah cilik kok.”
Benarkah?? Dalam keadaan terbaring di ranjang, pada hari-hari terakhirnya, sambil mengelus lembut kepalaku, dia masih bisa tertawa. Dia bilang, “nanti kalau aku sudah ada disana, aku akan memberi tahumu apa yang terjadi disana. Kalau tahu aku bahagia, tidak kesakitan lagi, kan kalian jadi ga usah khawatir lagi padaku.” Ah, lagi-lagi bibi masih bisa bercanda denganku. Namun kini, ketika mengenangnya, aku teringat, ketegaran dan ketabahannya menjadi inspirasi tersendiri buatku.
Dalam keadaan apapun, berserah diri dan mengucap syukur adalah jalan terbaik untuk dapat menemukan kebahagiaan hidup. Dan akhirnya setelah tiga tahun berlalu, meski aku telah kehilangan bibi yang sangat aku sayangi, aku bisa juga mengucapkan syukur padaNya. Terima kasih Tuhan telah memberikan bibi yang terbaik untukku. Terima kasih Tuhan, karena dia dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah mampu memberikan inspirasi bagi kami yang ditinggalkannya. Dan dimanapun bibi berada, terima kasih banyak, dirimu sangat berarti untukku, untuk orang tua dan juga adik-adikku.
0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini:
Posting Komentar