Gotong Toa Pekong, Wisata Budaya di Pecinan

Minggu, 07 Maret 2010


Arak-arakan dalam Pawai Budaya Gotong Toa Pekong dimulai. Suasana di Jalan Kemenangan penuh sesak. Pawai dalam rangka Imlek dan Cap Go Meh pada 28 Februari 2010 itu harusnya jadi momentum pengembangan wisata budaya di Pecinan.
Selasa, 2 Maret 2010 | 15:39 WIB
“Dalam pesta Cap Gou Meh yang menjadi penutup tahun, kita main dengan teng (lampion) yang berupa macam-macam seperti kodok ikan, burung dengan lilin di dalamnya. Yang menggunakan semacam roda ditarik dan yang memakai tali gantungan ditengteng beramai-ramai mengelilingi kampung Tionghoa.
Tanjidor mulai membarang (mengamen) dari rumah ke rumah dan mendapat seperak (f. 1,-). Jika hari mulai malam, terutama pada malam hari tahun baru, biasa berkeliling rupa-rupa tontonan terutama Gajah Dungkul dengan seorang pengangon (penggembala) yang sambil memukul tambur kecil bernyangi: Gajah saya Gajah Dungkul/ kasi makan rumput sepikul/ saya beberes belon betul/ yang nonton suda kumpul.
Sejak malam ke-13 tontonan sudah ramai, yang paling disukai Wayang Cokek yaitu empat perempuan berbaju kurung merah dll. Sebagai wayang, meski wanita, tapi memakai thau cang (kucir panjang) yang dililitkan di kepala. Mereka menandak (menari) dan menyanyi diiringi gambang kromong.”
Demikian Tio Tek Hong mengenang Cap Go Meh, dalam “Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959”,   di sekitar tahun 1903.
Di Jakarta, akhir pekan lalu, di pagi nan terik dan menyengat di pukul 08.30 pagi, suasana meriah sudah terasa di kawasan Kota Tua Jakarta, khususnya lagi di  kawasan Pecinan. Dari Museum Bank Mandiri, serombongan peserta Komunitas Jelajah Budaya (KJB), memulai perjalanan Cap Go Meh di Pecinan, dari kawasan Pintu Kecil berlanjut ke pusat Pecinan Kota seperti Jalan Perniagaan, Jalan Kemenangan, kemudian masuk ke Pancoran.
Jalan Perniagaan, menunjukkan perubahan cepat. Kendaraan yang semula lancar lambat laun menjadi tersendat dan makin sulit bergerak. Di Jalan Kemenangan, di mana Klenteng Toa Se Bio berada, sudah tak bisa dilalui kendaraan apapun sejak pagi. Orang menyemut di sana. Baik mereka yang akan sembahyang di klenteng, rombongan orang yang bersiap ikut dalam pesta budaya, pecinta budaya, dan penggila foto.

Semakin siang, matahari semakin membakar, manusia makin berimpit, bagaikan sarden. Mereka menantikan dimulainya Pesta Budaya, Gotong Toa Pekong dari klenteng tersebut. Terlihat para tetua seperti Ketua Panitia Pesta Budaya Youanto Kenchana, Ketua Yayasan Dharma Jaya Toasebio Hariyanto Gunawan, Ketua Paguyuban Kota Tua Jacky Sutiono, anggota DPRD DKI Ernawati Sugondo, dan Camat Tamansari Rustam Effendi juga bersiap melepas kirab budaya tersebut.
Wakil Walikota Jakarta Barat Sukarno yang melepas pawai mengatakan, Pawai Budaya Gotong Toa Pekong merupakan momentum penting untuk mempromosikan kawasan Kota Tua pada wisatawan. “Kami berharap acara ini digelar rutin. Ini sebagai upaya pengembangan budaya dan kepariwisataan di kawasan Kota Tua. Karena kita ingin kawasan ini jadi pusat wisata seni, budaya, dan sejarah, tandasnya.
Tentu saja, dalam rangka revitalsasi Kota Tua, kawasan Pecinan memegang peran penting sebagai kawasan industri kreatif yang sudah hidup – tapi dikhawatirkan mati. Tengok saja seni budaya, tradisi, yang masih bersisa di sini, yang masih bisa lebih dikembangkan, belum lagi kuliner peranakan yang sudah hidup lebih dari 60 tahun, bahkan lebih; tak ketinggalan pengobatan tradisional Tionghoa.

Doa sejahtera dan pelestarian budaya
Mari membesuk, menengok, Klenteng Toa Se Bio dengan atraksi gotong toapekong-nya. Nama Klenteng Toa Se Bio atau Toa Sai Bio, diberikan karena karena dewa yang dipuja di kelenteng ini dikenal sebagai Toa Sai Kong atau Paduka Duta Besar. Nama Toa Sai Bio kemudian, karena pelafalan, menjadi  Toa Se Bio. Nama jalan di sepanjang itu pun dulu adalah Jalan Toasebio sebelum berganti menjadi Jalan Kemenangan III, bahkan sebuah gereja berasitektur klenteng juga diberi nama Gereja Toasebio atau yang dikenal juga sebagai Gereja Santa Maria de Fatima.
Adalah seorang warga Hokkian yang membangun klenteng ini. Diperkirakan klenteng ini ada jauh setelah Klenteng Kim Tek Ie, abad 17, klenteng pertama di Batavia. Sementara itu, tradisi gotong Toa Pekong sudah ada berabad silam. Intinya adalah untuk membersihkan kota dari segala malapetaka. Di Toa Se Bio, pada acara Gotong Toa Pekong, satu per satu empat patung dewa diarak. Sesuai kepercayaan umat, arak-arakan dewa itu harus dimulai pukul 13.00. Secara berurutan dewa-dewa yang diarak adalah Kong Co (anjing langit) sebagai pembuka jalan, menyusul Cheng Goan Cheng Kun, Ma Kwan Im, dan Ma Copo.
Menurut Youanto, ritual gotong Toa Pekong selain bermakna doa keselamatan dan sejahtera, juga bentuk pelestarian budaya Tionghoa. Replika dewa digotong dengan joli (tandu) dan digotong para pria. Acara dimulai dengan ritual dari para Tangsin (orang pintar) di kelenteng.
Tangsin yang kerasukan dipercaya sebagai perantara antara dewa dan manusia. Seperti debus, seorang Tangsin menancapkan besi di lidah mereka kemudian melukai lidah mereka dengan senjata tajam. Kemudian, dengan kuas, ia mengusap darah dari lidahnya dan menuliskan sesuatu pada kertas berwarna kuning yang siacung-acungkan warga sepanjang jalan.
Kertas yang sudah terusap darah dari lidah Tangsin ini dipercaya sebagai obat, membawa keberuntungan, dan lain sebagainya.
Sekali lagi, sebuah nostalgia, kali ini dari David Kwa, pemerhati budaya Tionghoa peranakan yang pernah menuliskan pengalamannya di Majalah Kita Sama Kita edisi Februari 2003, begini: “Tjap Gouw Meh atawa Cap Go Me berarti Malam ke-15. Perayahan ini diadaken pada malem (meh) kelima blas (tjap gouw) sesudanya  Sin Tjhia, tanggal 15 bulan kesatu dari taon yang baru. Di ini malem menurut traditie turun menurun di Betawie orang pada jalan-jalan sembari bawa tengloleng, ataua lampion, yang dirupaken macem-macem binatang. Ada pulah orang buang sial (kwee swee) di ini taon yang abru dengen menyaruh sebagi orang prampuan (buwat orang lelaki), atawa sebaliknya.
Tidak jarang orang pada ngibing di tengah jalan dengen iringan muziek gambang kromong yang alat-alat muzieknya bisa dibawa-bawa oleh para panjaknya yang juga ikut kuliling bersama.
Tjap Gouw Meh juga diadaken di Tanahabang, Paal Mera, dan Meester Cornelis (Jatinegara) pada malem  ke-16 (Tjap Lak Meh). Salaennya itu, ini macem keramean juga dibikin di Buitenzorg (Bogor) sama pada malem ke15, di Tjiampea (deket Bogor) malem ke-16, di Tjiandjoer malem ke-19 (Tjap Kauw Meh) dan paling penghabisan di Soekaboemi malem ke-21 (Djie It Meh).
Di harian Tjap Gouw Meh biasanya tida lupa orang adaken juga upacara Gotong Toapehkong. Ini ritueel dimaksudken buwat jaga keselamatannya seantero penduduk dari ganggugan seitan iblis reriwa pejajaran. Di taon 1950-an, Toahpekong yang digotong biasanya ada dari tiga klenteng di Kota, Klenteng Tan Seng Ong Bio di Sampanliauw, Jalan Blandongan; Klenteng Hong San Bio (Toa Saij Bio) di Jalan Toasaijbio; dan Klenteng Han Tan Kiong di pekarangan depan Klenteng Kim Tek Ie di Jalan Klenteng, Petak Sembilan.
Dari Klenteng Han Tan Kiong rombongan  jalan meliwatin Kemenanangan 3 depan Klenteng Toa Saij Bio kluwar ke Toko Tiga Sebrang, mengalor ke sepanjang Pintoe Ketjil terus mengetan menuju Asemka, biluk lagi mengalor meliwatin Bank Mandiri (nama sekarang), mengiterin taman di depannya Statsion Kereta Api Kota (Beos), masuk ke Pintu Besar Selatan terus sampe ke Bioscoop Orion (yang sekarang suda jadi Orion Plaza), meliwatin Hayam Wuruk, muter mengalor di depan pompa bensinke Gajah MAda, masuk ke Gang Torong (Kemurnian) buwat balik kombali ke Klenteng Han Tan Kiong.

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: