Tur Kota Tua: Nieuw Gondangdia dan Menteng

Selasa, 02 Maret 2010

Akhir bulan Juli 2009, akhirnya aku ke Jakarta-Bogor lagi. Seperti biasa, menjadwalkan kumpul-kumpul dengan teman-teman. Apa ya.. akhirnya seorang teman mengusulkan, jelajah kota tua!! Kebetulan, tanggal 2 Agustus 2009, komunitas jelajah budaya mengadakan kegiatan rutin kunjungan sebulan sekali ke tempat-tempat bersejarah di Jakarta. Setelah berkoordinasi, akhirnya diputuskanlah untuk bergabung ke acara itu. Dengan mentransfer Rp 35.000,- per orang, ke rekening panitia, akhirnya resmilah kami jadi peserta acara itu.

Acara dimulai 07.30, di museum Bank Mandiri sebagai tempat start acara. Saat tiba di sana, ternyata sudah ramai. Setelah registrasi dan mendapatkan roti buaya sebagai bekal, sambil menunggu pemberangkatan, kami dibawa ke ruang teater. Di sana disajikan beberapa film mengenai Batavia tempo dulu. Beberapa film disajikan dalam bahasa Belanda dan Bahasa Inggris. Maklum, dokumenter tersebut merupakan output penelitian dari sejarawan Belanda. Lalu apa kabar sejarawan Indonesia ???
Peserta tour pun dibagi ke dalam beberapa kelompok, ada yang Javaweg, Serangweg, Bandungweg, Jogjaweg, Cirebonweg, dst. Kebetulan kami tergabung dalam Javaweg dan diberangkatkan pada urutan keempat.
Tema kunjungan kami hari itu adalah Niew Gondangdia dan Menteng. Oleh karena itu, kunjungan diawali dengan perjalanan menuju ke stasiun Gondangdia, dengan KRL dari stasiun kota. Dari museum bank mandiri ke stasiun Beos, atau yang lebih dikenal stasiun kota, kami melalui subway, jalan bawah tanah yang menghubungkan 2 titik ini. Wah, senangnya, bisa tahu dan mencoba jalan tersebut (ketahuan udiknya ya..hehehe).
Sesampainya di stasiun, KRL Bogor segera berangkat. Bersama pemandu, Mbak Memey, kami pun bergegas ke dalam KRL. Akhirnya, sampailah di stasiun Gondangdia. Turun dari stasiun Gondangdia yang dicat kuning kunyit tersebut, kami pun bergegas menuju ke jalan Cut Meutia, yang berada di selatan stasiun. Sebelum turun, pemandu menunjukkan sebuah took roti di pasar di seberang stasiun (lupa namanya). Toko roti ini telah didirikan sejak tahun 1912. Wow.. Di sepanjang perjalanan menuju masjid Cut Meutia, tujuan kami selanjutnya, pemandu menjelaskan mengapa tempat ini dikenal dengan nama Gondangdia. Ada tiga versi, namun yang tertangkap olehku hanya dua (maaf..maaf, aku kalo jalan memang banyak ndlemengnya..hehehe). Pertama, daerah ini dulu dipenuhi oleh pohon Gondang. Kedua, sebelum menjadi daerah pemukiman, daerah ini dihuni oleh seorang kakek bernama kakek Gondang.
interior-masjid-cut-mutiah
interior-masjid-cut-mutiah
Setelah berjalan 5 menit, sampailah kami di kawasan masjid Cut Meutia, yang terletak di Jalan Cut Mutiah. Pada masa lalu, bangunan ini digunakan sebagai kantor NV. De Bouwploeg yang membangun perumahan Menteng (developer). Orang pribumi banyak menyebutnya sebagai Boplo. Selanjutnya, gedung ini sempat digunakan sebagai kantor dinas pengairan, kantor pos pembantu, kantor jawatan kereta api (1957-1964) dan kantor sekretariat DPRGR dan MPRS (1964-1970). Atas inisiatif Jenderal Abdoel Haris Nasution, bangunan ini digunakan sebagai masjid dengan nama Cut Mutiah.
Kantor Imigrasi
Kantor Imigrasi
Selanjutnya, kami menuju ke bangunan yang kini cukup kontroversial. Bangunan ini terletak di pojokan Jalan Teuku Umar dan Dewi Sartika. Pada masa lalu, bangunan ini dikenal sebagai gedung Kunstkring yang digunakan untuk pameran lukisan dan buku. Selain itu, gedung ini digunakan sebagai kantor imigrasi. Hingga kini, nama kantor imigrasi masih melekat pada tembok luar gedung ini. Bangunan ini sempat diisukan akan digunakan untuk museum Ibu Tien Soeharto, dan terakhir adalah akan digunakan sebagai restoran Buddhabar. Saat kedatangan kami, gedung tersebut telah disetting menjadi sebuah restoran, hal ini terlihat pada plat nama buddhabar dan beberapa gazebo dan bangku yang diletakkan di taman. Secara arsitektur, bangunan ini unik. Dirancang oleh Moojen, seperti umumnya bangunan-bangunan di Menteng, dengan menonjolkan fungsi, kesederhanaan dan efisiensi.
Selanjutnya, kami pun berjalan ke sebuah gedung yang merupakan hasil karya anak bangsa. Gedung ini dirancang oleh F. Silaban dan diresmikan oleh Ir. Soekarno pada 4 April 1956. Gedung ini digunakan sebagai kantor Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO). Kini gedung ini dimiliki oleh Bank Mandiri. Gedung ini terdiri atas dua lantai. Ada dua tangga melingkar dari sisi kanan kiri gedung, yang kemudian bertemu di tengah. Saat berada di lantai dua, kami merasa sedikit pengap, mengingat ruangan yang sempit dan atapnya yang rendah. Tidak tahan kami pun segera turun dan mengambil gambar di sekitar tangga.
Selanjutnya, kami menyeberang. Di sana, kami berhenti pada kantor pos Cikini. Kantor pos ini telah berfungsi sejak zaman Belanda. Meskipun kecil, namun arsitekturnya tetap mempertahankan ciri-ciri bangunan Belanda. Di pelataran, pemandu menceritakan sejarah mengapa kotak tempat pengeposan surat dinamakan bis surat. Ternyata, zaman dulu, warga tidak langsung mengeposkan suratnya di kantor pos. Mereka menitipkan suratnya pada sopir bis untuk disampaikan pada penerimanya atau pada kantor pos. That’s uraian dari pemandu.
Akhirnya, tempat terakhir yang kami kunjungi, yaitu Asrama Menteng 31. Tempat ini merupakan tempat pertemuan para pemuda dalam mengkonsolidasikan kemerdekaan Indonesia saat itu. Kini, bangunan ini dijadikan museum. Di dalamnya dipamerkan beberapa diorama dan benda-benda yang terkait dengan tokoh-tokoh yang pernah tinggal di asrama. Yang kuingat di antaranya adalah contoh pakaian gerilyawan saat itu, baik putra maupun putri, beberapa benda peninggalan Jenderal Sudirman, serta lukisan-lukisan yang menggambarkan perjuangan sebelum dan sesudah kemerdekaan. Satu yang kuingat, bom tangan yang ukurannya mengesankan, besar !!
Terpisah dari bangunan utama, di halaman belakang juga terdapat ruang pamer yang menyimpan dua mobil, mobil RI 2 (mobil dinas Bung Hatta) dan mobil imperial, mobil Bung Karno yang menjadi saksi peristiwa Cikini. Di luarnya, juga terdapat bangkai kendaraan yang digunakan gerilyawan Indonesia saat itu. Kami pun dikumpulkan di ruang tengah untuk kembali menyaksikan tayangan masa lalu. Beberapa di antaranya pidato Bung Karno di lapangan IKADA dan juga Lagu Kebangsaan Indonesia Raya versi utuh 3 stanza.
Mendengar orasi Bung Karno yang provokatif dan bersemangat yang kemudian dibandingkan dengan suara beliau saat mengumandangkan teks proklamasi, ko tampak berbeda ya.. Mungkin karena suasana proklamasi yang sakral kali ya..
Saat diperdengarkan lagu kebangsaan yang utuh,  aku merinding. Lagu tersebut dibawakan dengan semangat, beda dengan lagu Indonesia Raya versi satu stanza sekarang yang mendayu-dayu. Lirik dalam dua stanza juga sangat mengena untuk kondisi sekarang, di mana nasionalisme kebangsaan sudah demikian menipisnya. Isinya bukan sekedar doa dan harapan agar kita bangga menjadi bangsa Indonesia, namun juga mengingatkan kita akan hakikat pembangunan yang sebaiknya dilakukan dan juga mengajak kita untuk senantiasa bersatu demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa.
Cobalah anda cermati lirik di bawah ini, semoga anda pun sepakat dengan pendapatku tadi.
*
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia raya merdeka merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia raya merdeka-merdeka
Hiduplah Indonesia raya
**
Indonesia tanah yang mulia
Tanah kita yang raya
Di sanalah aku berdiri
Untuk selama-lamanya
Indonesia tanah pusaka
Pusaka kita semuanya
Marilah kita mendoa Indonesia bahagia
Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya semuanya
Sadarlah hatinya, sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia raya, merdeka-merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia raya merdeka-merdeka
Hiduplah Indonesia raya
***
Indonesia, tanah yang suci
Tanah kita yang sakti
Disanalah aku berdiri
Menjaga ibu sejati
Indonesia tanah berseri
Tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji
Indonesia abadi
Selamatlah rakyatnya, selamatlah putranya
Pulaunya, lautnya semuanya
Majulah negerinya, majulah pandunya
Untuk Indonesia Raya.
Indonesia raya merdeka merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia raya merdeka-merdeka
Hiduplah Indonesia raya
Terlepas dari liriknya yang terlampau panjang dan akan menyulitkan penghafalan, kupikir sudah saatnya lagu Indonesia Raya versi 3 stanza ini didengungkan kembali, guna mengobarkan kembali nasionalisme sebagai bangsa Indonesia. Pelaguan versi sekarang yang mendayu-dayu pun harus dikembalikan pada pelaguan semula yang bersemangat.
**
Bagi teman-teman di Jakarta dan sekitarnya yang tertarik untuk mengenal dan mempelajari perjalanan bangsa ini, bergabunglah dalam tur Kota Toea yang diadakan rutin sebulan sekali oleh komunitas jelajah budaya. Asik lho, belajar bersama dengan puluhan orang.. nambah kenalan juga..!

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: