Sebagai penjual jasa, semua biaya yang timbul untuk produksi jasa tersebut akan di bebankan sepenuhnya ke pemakai jasa.
Untuk ukuran Indonesia, biaya terbesar biasanya adalah biaya akuisisi asset dan biaya bahan bakar. Pesawat yang saat ini dipakai oleh penerbangan terjadwal di Indonesia, masih sepenuhnya di suplai oleh negara maju. Sehingga beban harga pengadaan pesawat menjadi sangat tinggi. Jika dihitung dari berat logam yang dipakai untuk membuat pesawat dibandingkan dengan setelah logam tersebut mendapat nilai tambah dari proses manufcaturing, maka akan kelihatan jelas sekali berapa besar nilai tambah yang didapat oleh manufacturer. Pertanyaannya, apakah Indonesia belum mampu membuat pesawat ?
Sekilas pandang, ada beberapa bagian dari pesawat yang sangat bisa di bangun di Indonesia. Kalau pesawat dibagi menjadi bagian bagian pentingnya
(1) Rangka pesawat
(2) Mesin pesawat
(3) Sistem komputer pesawat dan
(4) Interior pesawat,
maka item (1) dan (4) adalah sangat mungkin untuk dibuat. Bahkan China yang saat ini sedang berusaha membangun pesawat sendiri -(ketinggalan berapa tahun dari CN235 ya?)- masih memakai supplier diluar China untuk mesin dan sistem komputer. Artinya, Indonesia sangat mampu untuk membuat pesawat sendiri dan mengambil mesin serta sistem komputer pesawat dari luar Indonesia.
Kalau melihat perkembangan jumlah pesawat yang akan masuk ke Indonesia, maka akan terlihat jelas berapa potensi penjualan pesawat dalam negri. Namun yang saat ini sudah mendatangani kontrak pengadaan, akan sangat sulit untuk di’rayu’ dan mengubah kontrak tersebut demi keuntungan perusahaan pembuatan pesawat dalam negri. Yang paling mungkin adalah membangunkan Industri perakitan pesawat dengan outlook untuk pemasaran 8-15 tahun kedepan.
Dengan membangkitkan ’sentimen’ negara-negara selatan, kemungkinan untuk menembus pasar antar negara juga mungkin terwujud. Kalau pun mau sedikit ‘menembus batas’, sentimen Pan-Islamisme juga bisa dipakai untuk membuat pasar pesawat produksi Indonesia.
Selain mengurangi biaya pengadaan pesawat, Industri perakitan pesawat juga sangat padat karya. Industri ikutannya pun sangat luas. Artinya, dari sisi penyerapan tenaga kerja, akan sangat membantu pemerintah.
Biaya investasi, pada beberapa pengembangan pesawat yang ada di pasaran saat ini, pabrik perakitan pesawat juga menggandeng pabrik mesin untuk ikut membiayai ‘development’ pesawat ini, dengan imbalan menjadi sole engine for the aircraft.
Pesawat dengan kelas 70-120 penumpang, masih akan bertarung ketat. Ada banyak pemain yang ada di kelas ini. Mungkin dengan masuk ke kelas 30-60 penumpang, kesempatan lebih bisa terbuka. Kalau perkembangan politik dan ekonomi Indonesia terus berjalan kearah positif, makan dalam 10 tahun lagi jarak antar pulau di Indoensia akan sangat ‘mengecil’. Akan banyak orang membutuhkan berpindah dari satu titik dipulau Jawa ke titik lain di pulau Sulawesi. Dan bisa diperkirakan, mereka juga tidak mau terlalu lama di perjalanan, serta sangat flexible memilih waktu keberangkatan. Pilihan yang mungkin untuk menjawab tantangan tersebut adalah pesawat dengan jumlah penumpang kecil (30-60 penumpang). Dengan jumlah penumpang kecil, maka waktu tunggu untuk mendapat penumpang yang cukup mengisi satu pesawat akan lebih pendek, sehingga flexibitas pemilihan waktu keberangkatan akan terjawab. Sedangkan pemakain pesawat akan menjawab kebutuhan kecepatan perpindahan.
Apakah 8-15 tahun waktu yang cukup ? Dari sisi teknologi, sangat cukup.Jumlah ahli pesawat Indonesia yang ‘terekspor’ akibat penurunan IPTN sangat banyak diluar Indonesia. Apakah mereka mau kembali untuk membantu negara ? sangat mungkin mereka mau, jika keinginan mereka dapat terpenuhi. Apakah semata mata gaji tinggi yang dibutuhkan ? rasanya tidak, banyak hal lain yang bisa menarik tenaga ahli ini kembali ke Indonesia. Kapan waktu tepatnya memulai indsutri perakitan pesawat ini ? kemarin…..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini:
Posting Komentar