Mendekati tanggal 30 Maret, uenaknya bercerita tentang orang Film. Karena tanggal itu dinobatkan sebagai Hari Film Nasional.
Adalah Arifin C Noor, yang kita kenal sebagai Penyair, Dramawan dan Sineas Indonesia terkemuka.
Dibalik kehebatan beliau, ternyata ada sisi lemah yang nggak masuk akal rasanya. Seperti takut kegelapan dan takut ular.
Dibalik kehebatan beliau, ternyata ada sisi lemah yang nggak masuk akal rasanya. Seperti takut kegelapan dan takut ular.
Di awal tahun 70 an, Arifin C Noor diundang ke Ujung Pandang dalam rangka meninjau pembuatan Film SANREGO. Beliau kebetulan menginap satu kamar dengan Mas Danarto (Budayawan, sastrawan, perupa) dan pak Begog.
Selama beberapa minggu di Ujung Pandang, pekerjaan rutine Arifin menjelang tidur adalah mempersiapkan korek api dan lilin di bawah bantalnya.
“Korek di kanan, lilin di kiri”, gumamnya sambil meletakkan kedua barang itu. “Jangan lupa Fin”. Lanjutnya menasehati diri sendiri.
Setelah mengecup foto anak pertamanya yang baru lahir, Arifin merebahkan diri beranjak tidur.
“Begog dan Danarto, berdiskusilah”, ordernya kepada kami berdua.
“Diskusi apa lagi mas?”, Pak Begog bingung.
Sepanjang sore hingga menjelang tidur kami bertiga berdiskusi melulu. Bahkan kadang2 seniman dan budayawan Ujung Pandang juga ikut nimbrung.
“Diskusi yang ringan2 saja. Misalnya kenapa sambal tadi terlalu pedas”.
“Waduh!”
“Yang penting kalian jangan tidur dulu sebelum saya tertidur”, jelasnya sambil mencoba memejamkan mata.
“Uenak eeee”, celetuk Danarto.
“Masalahnya kalau kalian tidur duluan, sementara saya belum bisa tidur, terus lampu mati. Siapa yang membantu saya menyalakan lilin2 ini?.
Arifin nggak main2 takut gelap.
Memang beberapa repertoir Arfin C Noor, selalu ada adegan black out. Sang tokoh menjadi histeris dan tak bisa bernafas.
Memang beberapa repertoir Arfin C Noor, selalu ada adegan black out. Sang tokoh menjadi histeris dan tak bisa bernafas.
Misalnya dalam drama SUMUR TANPA DASAR. Ada adegan mati lampu, tokoh sentral JUMENA MARTA WANGSA menjadi histeris dan tak bisa bernafas. Nampaknya ketakutan Jumena Marta Wangsa, personifikasi dirinya.
Tentang ketakutannya kepada ular, ini juga luar biasa dan tidak main2.
Ketika beliau meninjau set Film Sanrego yang di bangun di reruntuhan Benteng Ujung Pandang, Arifin hampir membatalkan niatnya. Pasalnya Benteng Ujung Pandang saat itu belum di pugar. Halamannya ditumbuhi ilalang setinggi pinggang orang dewasa. Untuk mencapai bangunan2 benteng harus melewati jalan setapak diantara lebatnya ilalang.
Melihat kondisi demikian, langkah Arifin terhenti di pintu gerbang dengan muka pucat pasi.
“Ada apa mas?”, tanya pak Begog.
“Aku tak melihat seekor tikus pun disini. Artinya disini banyak ular”, jawabnya dengan mata nanar melihat kesekeliling.
“Tak ada ular disini mas”
“Begini saja, kamu jalan duluan ke gedung yang terdekat itu. Kalau kamu selamat nggak digigit ular saya menyusul”.
“Kok begitu?”
“Kalo kita jalan bersama, digigit ular bersama, siapa yang mengabarkan kepada teman2 untuk memberi pertolongan?”
“O o….”
“Kalo kamu jalan kesana sendirian, terus digigit ular, aku bisa mngabarkan kepada teman2”.
“Ooooo!”
“ Nanti kalo kau selamat sampai sebrang, baru aku menyusul”.
Pak Begog males berdebat.
Ketika pak Begog sampai di tengah ilalang, Arifin teriak2.
“Jangan terlalu cepat jalannya! Berjalan sambil menyelidik. Siapa tahu ada ular melingker sedang tidur disekitarmu!”
Ketika pak Begog selamat sampai seberang, Arifin teriak2 lagi minta dijemput.
“Kalo kita jalan bersama, terus digigit ular bersama, siapa yang mengabarkan kepada teman?!”, pak Begog membalas teriak. Malas menjemput.
-o-
07032010
0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini:
Posting Komentar