Apakah Berbaiat Kepada Jamaah Minal Muslimin Merupakan Bid’ah?

Minggu, 07 Maret 2010


Kirim Print
(Hal Al-Bay’ah Lil Jama’ah Minal Muslimin Hiyal Bid’ah?)
Bai’ah Menurut Arti Lughah
Berasal dari kata ba-ya-’a yang artinya menjual atau juga membeli. Dikatakan bi’tu-syai’in artinya syaraytuhu (aku telah menjualnya); ia juga bisa berarti isytaraytuhu (aku telah membelinya), sehingga ia memiliki arti ganda [1].
Juga dapat bermakna ketaatan, al-bay’ah (Indonesia: bai’ah atau bai’at) artinya al-mutaba’ah (mengikuti) wa ath-tha’ah (mentaati) [2]. Disebut Al-Bay’ah karena kesiapan sang penerima bay’ah tersebut untuk mengikuti & taat [3].
Juga berarti akad atau janji, al-aqdu / al-’ahdu, sebagaimana dalam hadits disebutkan: Dosa yang paling besar dari dosa-dosa besar adalah kalian memerangi kaum yang ada perjanjian dengan kalian [4].
Ia juga dapat berarti gereja, al-bii’ah, sebagaimana dalam kitab Shahih Al-Bukhari, dalam bab “Ash-Shalatu fil Bi’ah (Hukum Shalat di dalam Gereja) [5]”
Bai’ah Dalam Al-Qur’an
Kedua makna bai’ah di atas dapat kita temukan dalam Al-Qur’an Al-Karim, sementara makna yang ketiga kita dapatkan dalam Al-Hadits.
Dalam makna pertama (jual-beli), seperti dalam QS Al-Baqarah 2/282 berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu) jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya, janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya, yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan, jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Dalam makna kedua (ketaatan & mengikuti perintah) terbagi menjadi 2, yaitu bay’ah-nisa’ (hanya mendengar & taat) sebagaimana dalam QS Al-Mumtahanah 60/12 sbb:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam QS Al-Fath 48/10 dan ayat 18-nya sbb:
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia [6] kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah di atas tangan mereka [7], maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
“Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) [8].”
Bai’ah Dalam As-Sunnah
Bai’ah yang disebutkan dalam As-Sunnah adalah sangat banyak, di antaranya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih & hasan berikut ini:
1. “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh ALLAH SWT pada Hari Kiamat… dan orang yang telah mem-bai’at seorang Imam lalu jika Imam itu memberi kepadanya maka iapun setia dan jika Imam itu tidak memberinya maka iapun tidak setia kepadanya. [9]”
2. “Barangsiapa mem-bai’at seorang Imam lalu Imam tersebut memberikan buah hatinya dan mengulurkan tangannya, maka hendaklah ia mentaatinya sedapat mungkin dan apabila ada Imam lain yang menyainginya maka hendaklah mereka memukul leher Imam yang datang belakangan itu. [10]”
3. “Adalah Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi, tiap kali sang nabi wafat, maka digantikan oleh Nabi berikutnya. Dan sesungguhnya tidak ada lagi Nabi setelahku, tetapi akan ada para Khalifah, mereka banyak jumlahnya. Para sahabat bertanya: Apa yang Anda perintahkan kepada kami? Nabi SAW bersabda: Patuhilah bai’ah pertama, berikanlah hak mereka, karena ALLAH akan menanyakan kepada mereka apa yang menjadi tanggungjawab mereka. [11]”
4. “… Lalu apa yang anda perintahkan kepadaku wahai RasuluLLAH? Maka Nabi SAW bersabda: Penuhilah bai’ah yang pertama karena itulah yang utama dan berikanlah pada mereka hak mereka, karena sesungguhnya ALLAH SWT akan menanyakan pada mereka tentang tanggungjawab mereka. [12]”
5. “Barangsiapa mem-bai’at seorang Amir tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin, maka tidak ada bai’at baginya dan tidak ada bai’at bagi yang mem-bai’at-nya. [13]”
6. “Apabila di-bai’at 2 orang Khalifah, maka bunuhlah Khalifah yang terakhir dari keduanya. [14]”
7. “Barangsiapa yang meninggal dan di lehernya tidak ada bai’ah maka ia mati dalam keadaan Jahiliyyah. [15]”
Bai’ah Boleh Dilakukan Kepada Selain Imamah-’Uzhma Pada Masa As-Salafus-Shalih
1. Sebagian kaum muslimin mem-bai’ah Mu’awiyah – semoga ALLAH meridhoinya – saat Ali bin Abi Thalib – semoga ALLAH meridhoinya – masih menjabat sebagai khalifah yang sah [16], dan hal ini tidak diingkari oleh Nabi – semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau -, beliau hanya menyebut Ali – semoga ALLAH meridhoinya -  “lebih dekat pada kebenaran” [17].
2. Bahkan sebagian Ulama yang tajam bashirahnya, menyatakan bahwa terdapat hikmah besar dari peristiwa peperangan di masa Ali – semoga ALLAH meridhoinya – karena dengan keluhuran & keluasan ilmunya sebagai sahabat generasi pertama kita dapat meletakkan dasar-dasar & kaidah-kaidah syariat yang amat berharga tentang jika terjadi perselisihan antara 2 kelompok kaum muslimin serta hukum-hukum fiqh di sekitar peperangan antara sesama Ahli Kiblat [18].
3. Sebagian kaum muslimin ber-bai’ah pada Ummul Mu’minin Aisyah – semoga ALLAH meridhoinya – dan berperang bersamanya melawan Khalifah Ali – semoga ALLAH meridhoinya – dan Nabi – semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau – tidak mencaci Aisyah – semoga ALLAH meridhoinya – bahkan meminta Ali – semoga ALLAH meridhoinya – agar memperlakukannya dengan halus [19].
4. Sebagian kaum muslimin juga mem-bai’ah Al-Hasan bin Ali – semoga ALLAH meridhoinya – di masa pemerintahan Mu’awiyyah – semoga ALLAH meridhoinya – masih berkuasa, dan tidak diingkari oleh para shahabat yang lainnya – semoga ALLAH meridhoinya [20]. Dan Nabi – semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau – menamakan kedua kelompok tersebut keduanya muslim, sebagaimana dalam sabdanya: “Cucuku ini adalah pemimpin pemuda Ahli Syurga, semoga ALLAH mendamaikan 2 kelompok kaum muslimin yang berselisih melalui dirinya. [21]”
5. Sebagian kaum muslimin juga mem-bai’ah Yazid bin Mu’awiyah, sementara sebagiannya mem-bai’ah Al-Husein bin Ali – semoga ALLAH meridhoinya [22].
6. Kaum muslimin mem-bai’ah para tokoh selain Khalifah, seperti yang dilakukan oleh qabilah Nakha’i terhadap Al-Asytar, menjelang perang Shiffin [23].
Menolak Ber-Bai’ah Pada Penguasa Yang Sah Karena Sesuatu Hal Juga Tidak Diingkari Oleh As-Salafus-Shalih
1. Ali – semoga ALLAH meridhoinya – berkata pada Sa’ad bin Abi Waqqash – semoga ALLAH meridhoinya: “Ber-bai’atlah Engkau!” Sa’ad menjawab: “Aku tidak akan ber-bai’at sebelum orang-orang semua ber-bai’at. Tapi demi ALLAH tidak ada persoalan apa-apa bagiku.” Mendengar itu Ali – semoga ALLAH meridhoinya – berkata: “Biarkanlah dia.” Lalu Ali – semoga ALLAH meridhoinya – menemui Ibnu Umar – semoga ALLAH meridhoinya – dan berkata yang sama, maka jawab Ibnu Umar – semoga ALLAH meridhoinya: “Aku tidak akan ber-bai’at sebelum orang-orang semua ber-bai’at.” Jawab Ali – semoga ALLAH meridhoinya: “Berilah aku jaminan.” Jawab Ibnu Umar – semoga ALLAH meridhoinya: “Aku tidak punya orang yang mampu memberi jaminan.” Lalu Al-Asytar berkata: “Biar kupenggal lehernya!” Jawab Ali – semoga ALLAH meridhoinya: “Akulah jaminannya, biarkan dia. [24]”
2. Imam Al-Waqidi mencatat ada 7 orang shahabat besar – semoga ALLAH meridhoinya – yang tidak memberikan bai’at pada Khalifah Ali – semoga ALLAH meridhoinya – yaitu: Sa’d bin Abi Waqqash, AbduLLAH bin Umar, Shuhaib bin Sinan, Zaid bin Tsabbit, Muhammad bin Maslamah, Salamah bin Aqwa’ dan Usamah bin Zaid – semoga ALLAH meridhoinya [25].
Keluar dari Ketaatan dan Memberontak Kepada Imamah ‘Uzhma Juga Dibenarkan Oleh As-Salafus-Shalih Sepanjang Bisa Menghasilkan Mashlahat Da’wah yang Lebih Besar

1. Sa’id bin Jubair, Syurahbil bin Amir Asy-Sya’biy, dan Al-Asy’ats bin Qays memerangi Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafiy, di antaranya pada peperangan yang terkenal sebagai peristiwa Dairul Jamahim [26].
2. Bahkan di dalam kitab-kitab Ash-Shahih selain hadits-hadits tentang perintah agar kaum muslimin bersabar kepada penguasa yang zhalim, dibolehkan juga memberontak kepada Khalifah jika telah ditemui tanda-tanda kekufuran yang terang-terangan [27].
Batasan Sahnya Jumlah Orang yang Mem-Bai’at Menurut Para Ulama Ushul
1. Sebagian Ahli Ushul berpendapat bahwa bai’ah shah dilakukan oleh minimal 5 orang, baik kelimanya yang mengusulkan maupun salah satu mengusulkan dan disepakati oleh yang lainnya, hal ini berdasarkan dalil pengangkatan Abubakar – semoga ALLAH meridhoinya – dilakukan oleh 5 orang shahabat. Bahkan para fuqaha Kufah berpendapat 3 orang sudah sah, karena didasarkan pada sahnya akad nikah [28].
2. Imam Al-Mawardi berkata bahwa pengangkatan Imam ini hukumnya fardhu kifayah, dan kewajiban ini sejajar dengan kewajiban jihad & menuntut ilmu. Sehingga jika seseorang telah melakukannya dan ia memang mememnuhi syarat sesuai syari’ah, maka lepas kewajiban masyarakat pada umumnya [29].
Bahayanya Berpegang Kepada Zhahir Hadits Saja dan Mengabaikan Fiqh Maqashid-Syari’ah dalam Masalah Ini
Disebutkan dalam hadits-hadits shahih bahwa jika kaum muslimin saling berperang maka kedua kelompok yang berperang tersebut masuk neraka, sbb:
1. “Apabila 2 orang muslim berhadapan dengan pedangnya masing-masing maka yang membunuh & terbunuh di neraka.” [30]
2.  “Dunia ini tidak akan Kiamat sebelum datang pada manusia suatu zaman saat pembunuh tidak tahu kenapa ia membunuh & yang dibunuh pun tidak tahu kenapa ia dibunuh. Tanya para sahabat – semoga ALLAH meridhoinya: “Bagaimana nasib mereka wahai RasuluLLAH?” Jawab Nabi – semoga shalawat & salam selalu tercurah pada beliau: “Binasa! Pembunuh & yang dibunuh akan masuk neraka.” [31]
Jelaslah jika kita hanya berpegang kepada zhahir hadits saja, tanpa mendalami ilmu fiqh, maka berdasarkan zhahir hadits di atas kedua kelompok para sahabat – semoga ALLAH meridhoinya – yang berperang sebagaimana disebutkan di atas, keduanya akan masuk neraka, kita berlindung kepada ALLAH – Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi – dari pemahaman seperti ini..
Wahai ikhwan wa akhwat fiLLAH, takutlah kepada ALLAH dari sikap su’uzhan kepada sesama kaum muslimin yang berijtihad, dan hendaklah kita berperasangka baik kepada saudara-saudara kita dari kelompok muslimin yang lain, karena ilmu itu bukan monopoli seseorang atau sekelompok orang saja, wa fawqa kulla dzii ‘ilmin ‘aliim..
WaLLAHu a’lam bish Shawab
Catatan Kaki:
[1] Ash-Shihhah fil Lughah, Al-Jauhary, I/60; Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, VIII/23; Tajul ‘Arus, Az-Zubaidi, I/5119
[2] Al-Mukhashshish, Ibnu Sayyidihi, I/276
[3] Tahdzibu Al-Lughah, Al-Azhariy, I/392
[4] Al-Qamus Al-Fiqhi, I/213
[5] Al-Jami’us-Shahih, Al-Bukhari, II/213
[6] Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan ‘umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. Mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang Karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman Telah dibunuh. Karena itu nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai’ah (janji setia) kepada beliau. Merekapun mengadakan janji setia kepada nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama nabi sampai kemenangan tercapai. perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, Karena itu disebut Bai’atur Ridwan. Bai’atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
[7] Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan, caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu, hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.
[8] Yang dimaksud dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan kaum muslimin pada perang Khaibar.
[9] HR Al-Bukhari, V/9; lih. juga dalam Al-Fath, XIII/35
[10] HR Muslim III/1472-1473; Nasa’i, VII/152-153; Abu Daud, IV/97; Ibnu Majah, II/1306
[11] HR Bukhari, V/401; Muslim, III/1471; Ibnu Majah, II/958; Ahmad, II/297
[12] HR Muslim, III/1472 ini adalah lafazh-nya; Bukhari, V/403; Al-Fath, VI/495; Ibnu Majah, II/958-959; Ahmad, II/297
[13] HR Ahmad dalam Al-Musnad, dan ini adalah lafzh-nya; Al-Fath, XII/145
[14] HR Muslim, III/1480; Ahmad, III/95
[15] HR Muslim, III/1478
[16] Usud Al-Ghabah, Ibnul Atsir, I/113
[17] HR Muslim, VII/168
[18] At-Tamhid fi Ar-Radd ‘alal Mulhidah, Al-Baqillani, hal. 229
[19] HR Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, III/119
[20] Ibid, I/265
[21] HR Al-Bukhari, VIII/94
[22] Ibid, II/193
[23] HR Ibnu Abi Syaibah & Al-Hakim, dari Umar bin Sa’id An-Nakha’i
[24] Al-Milal wa An-Nihal, Ibnu Hazm, IV/103 dari riwayat Imam At-Thabari
[25] Tarikh Ar-Rusul, Al-Waqidi, IV/429
[26] Tarikh Ar-Rusul wal Mulk, At-Thabary, VI/346
[27] HR Al-Bukhari, VIII/88
[28] Tarikh Ar-Rusul wal Mulk, At-Thabary, IV/497-498
[29] Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 4
[30] Fathul Bari’, Ibnu Hajar, XIII/34
[31] Fathul Bari’, XIII/34

0 saran,Bagaimana Menurut Anda??klik disini: